BERANDA

Senin, 30 April 2012

YURISPRUDENSI PERADILAN AGAMA


(Studi Perkembangan Pemikiran Hukum Islam di Lingkungan Pengadilan Agama Se-Jawa Tengah dan Pengadilan Tinggi Agama Semarang.)


ABSTRAKSI


euctp.org
  Kajian penelitian ini mengungkap pertimbangan hukum yang dijadikan dasar oleh para hakim pengadilan dalam memutus perkara di pengadilan dan sejauhmana keterkaitannya dengan yurisprudensi sebagai dasar hukum serta implikasinya dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Peneliti melakukan penelitian lapangan dengan obyek penelitian perkembangan pemikiran hukum Islam di lingkungan PA se-Jawa Tengah dan PTA Semarang, tahun 1991-1997. Dengan pendekatan yuridis, historis, sosiologis dan antropologis, penelitian menyimpulkan bahwa hakim dalam memutus, menggali dan menemukan hukum yang ada dalam masyarakat bersifat fleksibel, artinya tidak semata-mata menggantungkan pada aturan-aturan yang ada, atau tidak menafsirkan secara bebas ataupun juga tidak berijtihad tanpa harus melihat terlebih dahulu peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada, akan tetapi semua aspek menjadi satu akumulasi pertimbangan yang saling mendukung. Meskipun KHI masih berbentuk Instruksi Presiden, tatapi paling sering dijadikan pertimbangan hukum. Putusan-putusan PA/PTA yang berkaitan dengan yurisprudensi didominasi oleh putusan-putusan masalah perkawinan dan sedikit sekali yang berhubungan dengan masalah kewarisan dan perwakafan. Penelitian ini menemukan suatu teori hukum yaitu teori akomodasi induktif, yaitu teori hukum yang menyatakan bahwa hakim dalam memutus perkara harus mengakomodir berbagai aspek baik historis, sosiologis, maupun antropologis yang melingkupi suatu perkara yang dengan hal-hal tersebut semakin meyakinkan hakim dalam memutus perkara yang dihadapinya.

Kata kunci: Yusriprudensi, Peradilan Agama, Hukum Islam, Putusan Pengadilan.


A.      Pendahuluan
Dari sudut historis, Lembaga Pengadilan Agama apabila didasarkan pada Staatsblad 1882 Nomor 152 merupakan lembaga pengadilan yang paling tua di Republik Indonesia, meskipun demikian implementasinya masih menghadapi berbagai persoalan. Hal ini antara lain menyangkut masalah sumber hukum, baik hukum formil maupun hukum materiil. Salah satu upaya pemecahan masalah hukum tersebut ialah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditunjang oleh Putusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaannya. Dengan adanya Instruksi Presiden ini, para hakim di lingkungan Pengadilan Agama mempunyai rujukan yang baku dalam memutus perkara. Namun demikian, posisi Instruksi Presiden sebagai landasan hukum di kalangan para ahli hukum masih dipermasalahkan. Pengalaman implementasi legislasi nasional melalui Instruksi Presiden di satu pihak, ia mempunyai kemampuan mandiri untuk berlaku efektif di samping instrumen lainnya yang mempunyai daya atur dalam sistem hukum positif di Indonesia. Namun pada segi lain,  instrumen Instruksi Presiden tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundangan-undangan nasional.[1] Dari sudut ilmu hukum, norma hukum yang dikandung oleh sebuah instruksi selalu bersifat individual kongkrit artinya instruksi itu hanya dapat berlangsung apabila pemberi instruksi dan yang menerima instruksi itu terdapat hubungan organisasi secara langsung.[2]
KHI, kendatipun masih berbentuk Instruksi Presiden yang kekuatan hukumnya tidak sekuat undang-undang, namun keberadaan KHI tersebut dapat menyamakan visi hakim dalam memutuskan perkara. Dengan kata lain unifikasi hukum di lingkungan Pengadilan Agama sudah mulai menampakkan bentuknya. Hal ini dapat dibandingkan dengan sebelum adanya KHI yang memberikan kelonggaran pada hakim dalam mengekspresikan kasus yang dihadapinya. Sebagaimana dikatakan Yahya Harahap bahwa akibat sikap dan perilaku para hakim yang mengidentikkan fiqh dengan syari’ah atau hukum Islam, maka lahirlah berbagai produk putusan PA sesuai dengan latar belakang madzhab yang dianut dan digandrungi oleh masing-masing hakim dan akhirnya terbentanglah putusan-putusan PA yang sangat berdisparitas antara putusan yang satu dengan yang lain dalam kasus perkara yang sama.[3]
Oleh karena itu tepat kiranya apa yang dikatakan Muhammad Atho Mudzhar bahwa pemikiran hukum Islam tetap dilaksanakan oleh paling sedikitnya dua golongan pembela syari’at, yakni para qadi dan para mufti. Golongan yang pertama melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan pelaksanaan ilmu hukum melalui putusan pengadilan, sedangkan golongan kedua melalui fatwa-fatwa.[4]
Hakim pengadilan sebagai pejabat negara yang terikat dengan undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang menggariskan bahwa hakim mempunyai tugas memutuskan, menggali dan menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat yang sudah barang tentu dilatarbelakangi oleh kondisi dan situasi. Sesuai dengan undang-undang di atas, maka tidak menutup kemungkinan putusan hakim yang mempunyai kompetensi wilayah yang satu dengan wilayah yang lain berbeda, bahkan ada bentuk-bentuk putusan Para hakim tersebut yang diangkat menjadi yurisprudensi. Berdasarkan atas faktor-faktor tersebut di atas, maka kedudukan yurisprudensi sebagai sumber hukum bagi para hakim pada umumnya, khususnya para hakim di PA menjadi sangat urgen.
Berlatarbelakang tersebut di atas, kajian ini membahas Yurisprudensi Peradilan Agama yang selama ini cukup kental melatarbelakangi keputusan-keputusan hakim. Yurisprudensi yang dalam istilah hukum ialah “pengumpulan secara sistematis peraturan-peraturan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam kasus yang serupa.[5] Dalam kaitannya dengan lembaga peradilan, yurisprudensi dapat berarti peradilan pada umumnya (judicature, rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal kongkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Di samping itu yurisprudensi dapat  pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan, atau dengan kata lain putusan pengadilan.[6]
Persoalan yurisprudensi menjadi penting dibahas karena dalam posisi hukum formil tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi dalam implementasinya menjadi rujukan yang kedudukannya sama dengan undang-undang dalam memutuskan perkara sebagai sumber hukum materiil. Kedudukan yurisprudensi sebagai rujukan hal ini diperkuat oleh Retno Wulan Sutantio yang menyatakan bahwa buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia akan menggugah para hakim untuk menjatuhkan putusan yang dipertimbangkan dengan mantap dengan merujuk yurisprudensi yang bersangkutan, justeru oleh karena yurisprudensi adalah sumber hukum.[7]
Penelitian ini kendatipun hanya mengkaji putusan-putusan yurisprudensi Pengadilan Agama, akan tetapi menjadi menarik untuk diketahui karena di dalamnya dikaji pula  tentang sejauhmana putusan-putusan tersebut berkaitan dengan posisi dan status hakim agama. Hakim agama di satu sisi terikat dengan birokrasi sebagai pegawai pemerintah yang juga terikat dengan undang-undang dan di sisi lain memiliki kebebasan dalam menggali, menemukan dan mengembangkan hukum Islam.
Dari permasalahan tersebut diatas peneliti fokus pada penemuan tentang bagaimana para hakim memanfaatkan kebebasan dalam memutus perkara berdasarkan pemikirannya, argumentasi yang melandasinya, relevansi dengan UU, dan produk-produk yurisprudensi, dan kontribusi yurisprudensi bagi pengembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia.
Dari hasil temuan penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai acuan model-model putusan yang dilakukan oleh PA dan PTA dan menjadi sumbangan pemikiran dalam mengembangkan hukum Islam di Indonesia, setidak-tidaknya dengan pola yurisprudensi.


B.       Desain dan Metode Riset
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan eksplanatoris. Penentuan jenis deskriptif dan ekplanatoris ini didasarkan pada  dua argumen berikut: Pertama,  penelitian ini dimulai dengan menggunakan pendekatan historis, artinya mendekati masalah yang hendak dianalisis dari fakta sejarah yang ada. Kedua, penelitian ini berusaha menjelaskan hubungan kausalitas antara dua variabel yaitu yurisprudensi Peradilan Agama dan perkembangan pemikiran hukum Islam, artinya penelitian ini berusaha menerangkan (eksplanasi) hubungan kedua variabel tersebut dengan asumsi bahwa yurisprudensi Peradilan Agama merupakan salah satu model atau strategi pengembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia. Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum normatif [8]  yang cakupannya meliputi penelitian asas-asas hukum, penelitian pada taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.
Pendekatan-pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: Pertama, pendekatan Yuridis, artinya penelitian terhadap produk hukum yang menjadi yurisprudensi sebagai contoh kasus. Kedua, pendekatan Historis artinya telaah terhadap perkembangan kelembagaan Pengadilan Agama dan hukum Islam sebagai hukum materiilnya. Ketiga, pendekatan Sosiologis, yaitu pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial beserta produk kehidupannya.[9]
Sebagai sumber data pada penelitian ini ada dua macam, yaitu pustaka dan lapangan. Sumber data kepustakaan ini meliputi bahan hukum primer terdiri dari: beberapa ayat Al-Qur’an, beberapa Sunnah Rasulullah, substansi materi kitab-kitab fiqh dan teori-teori Ushul Fiqh yang relevan dengan substansi kajian dalam penelitian ini dan peraturan perundang-undangan Indonesia antara lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kep Menag RI Nomor 154 Tahun 1991, Putusan-putusan PA se-Jawa Tengah dan PTA Semarang. Selain itu juga memekai bahan hukum sekunder, terdiri dari berbagai buku terkait, makalah dan sebagainya. Sedangkan sumber data dari lapangan, peneliti melakukan penelitian lapangan di PA se-Jawa Tengah dan PTA Semarang, berupa putusan-putusan pengadilan yang menggunakan dasar yudrisprudensi mulai tahun 1991-1997.
Tidak seluruh populasi yaitu PA se Jawa Tengah menjadi obyek penelitian, tetapi peneliti mengambil sampel dengan metode stratified cluster random sampling. Jumlah PA yang ada di bawah PTA Semarang sebanyak 36 buah, dari jumlah 36 buah ini terbagi dalam 4 kelas, yaitu kelas I A, I B, IIA dan II B. Masing-masing kelas diambil 15 %.
Setelah mengumpulkan data dengan model wawancara, angket dan dokumentasi, peneliti kemudian menganalisis dengan metode reflective thinking dengan pola deduksi-induksi dan tata pikir devergen yaitu tata fikir kreatif inovatif.[10] metode ini berusaha memahami dan merefleksi hasil dari penafsirannya terhadap hukum-hukum normatif serta mengaktualkan pada realitas sosial yang selalu berubah dan berkembang di Indonesia. Metode analisis ini juga berusaha menafsirkan karakter produk hukum yang berupa yurisprudensi yaitu dengan content analysis yang secara normatif berusaha mengabstraksikan asas yang terkandung di dalam produk hukum, menilai sinkronisasi vertikal dan horisontalnya, membanding-bandingkan produk hukum yurisprudensi yang satu dengan yang lainnya, serta membahas kecenderungan pengembangan dan perkembangannya.[11]


C.      Urgensi Yurisprudensi dalam Peradilan, Sebuah kajian pustaka dan teoritis
1.      Kajian Pustaka
Mengkaji putusan-putusan pengadilan yang akhirnya menjadi yurisprudensi dapat dilacak dari aspek sejarah munculnya pencatatan putusan-putusan pengadilan. Menurut Salam Madkur, pencatatan putusan-putusan pengadilan baru dimulai pada masa pemeritahan Khalifah Mu’awiyah yaitu yang dilakukan oleh seorang qadli bernama Salim ibn Aus di Mesir. Ia berpendapat bahwa putusan-putusan pengadilan ini penting dicatat karena suatu ketika bisa terjadi umpamanya sengketa harta pusaka yang diputus, kemudian di lain waktu di antara para pihak yang berperkara mengingkari putusan itu dan saling berselisih tentang putusan tersebut, karena hasil putusan tidak dicatat, maka mengakibatkan bukti autentik tidak dapat ditunjukkan kemudian, sehingga mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut, lalu diputus dan dicatat serta dihimpun di dalam buku khusus. Maka sejak saat itulah putusan pengadilan dibukukan.[12]
Menurut J. Kramers, sejak saat itu studi hukum Islam menekankan pada teori dan praktek. Teori adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam teks, sedangkan praktek adalah sebagaimana yang diputuskan pengadilan.[13] Putusan-putusan pengadilan tersebut kemudian dinamakan yurisprudensi. Kalau dilihat sejarah perkembangan yurisprudensi Islam, banyak yurisprudensi yang disusun berdasarkan pada karya-karya Imam Malik, Abu Yusuf al Syaibani dan as-Syafi’i. [14]
Yurisprudensi menjadi kenyataan yang bersifat faktoral dalam penyelenggaraan peradilan di Indonesia, sebab jika menyandarkan pada ilmu hukum dogmatis-normatif yang hanya merupakan suatu teknis yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan pengadilan yang berusaha membidik kepastian hukum, maka tugas hakim untuk menghasilkan yurisprudensi adalah logika hukum. [15] Sedangkan Max Weber, seorang tokoh sosiologi, membedakan antara substantive rationality dan formal rationality, yang menyatakan bahwa sistem hukum Barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality, artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan-ketentuan seperti itu seringkali bertentangan dengan aspek-aspek substantive rationality yakni kesebandingan bagi warga masyarakat secara individual, misalnya dalam mengkaji kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk sistem hukum yang memberikan derajat dan kesempatan yang sama bagi warga masyarakat dalam melakukan  tindakan hukum atau pembentukan suatu sistem hukum.[16]
Notosusanto menulis berbagai persoalan yang ia sebut dengan istilah yuriprudensi Peradilan Agama di Indonesia, yang diperoleh dari murid-muridnya pada waktu memberikan kuliah di tingkat Doktoral Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri pada tahun 1957-1961 yang merupakan hasil tinjauan ilmiah pada berbagai PA di Indonesia (juga pada Kantor Pusat Jawatan Peradilan Agama) pada waktu itu,[17] kajiannya hanya memberikan gambaran tentang kronologis terjadinya putusan, tetapi tidak didukung dengan latarbelakang terjadinya putusan serta apa yang menjadi landasan putusan tersebut.
Hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar pertimbangan hukum bagi hakim adalah kajian Muhammad Atho’ Mudzhar dalam disertasinya yang berjudul Ulama’ Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di 1975-1983 yang menguji hasil-hasil fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) tersebut dari segi nash dan pemikiran-pemikiran ulama’. Hal ini dapat dilihat dari contoh tentang persoalan kawin beda agama yang dianggap menarik, karena meskipun al-Qur’an jelas mengizinkan seorang laki-laki Islam menikah dengan seorang perempuan ahlul-kitab, namun fatwa MUI tidak membolehkannya. Fatwa tersebut melarang perkawinan semacam itu karena kerugiannya (mafsadahnya) lebih besar daripada keuntungannya (mas}lah}ah). Meskipun fatwa itu ditujukan khusus mengenai kejadian-kejadian di Indonesia, hal itu bersifat radikal karena berlawanan dengan apa yang secara jelas dinyatakan dalam al-Qur’an. Fatwa itu juga bertentangan dengan kitab-kitab fiqh klasik yang biasa dirujuk oleh MUI dalam membuat fatwa-fatwa lain. Naskah-naskah fiqh klasik sepakat memberi izin kepada seorang laki-laki muslim untuk menikah seorang perempuan dari ahlul-Kitab, maka timbul pertanyaan apakah yang menjadi dasar MUI untuk mengambil sikap yang berlawanan dengan al-Qur’an.[18]
Apa yang dikaji oleh Muhammad Atho’ Mudzhar yang mengkritisi persoalan-persoalan fatwa MUI sangat baik untuk dikembangkan dalam bidang-bidang yang lain, dan untuk ini penulis mencoba dalam bidang Peradilan Agama. Memang banyak peneliti yang mengungkapkan tentang Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA), akan tetapi penelitian tersebut kebanyakan bersifat informatif dan tidak sampai pada taraf pengujian, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Amaliyah Fuadah tentang Tinjauan Hukum Islam terhadap Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Agama yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Dalam pembahasannya ia menekankan pada masalah proses peninjauan kembali terhadap putusan PA menurut putusan perundang-undangan yang berlaku, kemudian hasilnya ditinjau menurut hukum Islam.[19]
Penelitian lain yang berkaitan dengan Peradilan Agama adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Ahmad Fadhil Lubis. Judul penelitiannya adalah Islamic Justice in Transition: a Socio Legal Study of The Agama Court Judges in Indonesia. Penelitian ini berupaya mengkaji transisi Peradilan Islam di Indonesia dengan mengkaji tiga aspek pokok, yaitu Peradilan Agama sebagai institusi, subtansi dan prosedur hukum dan hakim. Karena ia memandang bahwa perbaikan dalam tiga hal tersebut di atas dapat menjadi sebab kemajuan PA, sehingga PA akan terus mangalami transisi menuju yang lebih baik.[20]
Penelitian sebagaimana dijelaskan di atas nampak belum menyinggung persoalan-persoalan yang berkaitan dengan yurisprudensi di PA, baik kajian-kajian kepustakaan maupun lapangan. Oleh karena itu sangat penting untuk membahas tentang yurisprudensi terutama yang berkaitan dengan Peradilan Agama.
Suatu hal yang menarik adalah perkembangan persepsi tentang yuriprudensi. Menteri Kehakiman dan Kabinet Pembangunan VI (Oetojo Oesman) menyatakan putusan bebas yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bantul terhadap Dwi Sumaji alias Iwik yang dituduh membunuh wartawan Fuad M. Syarifuddin alias Udin bisa dijadikan yurisprudensi. Sebab putusan tersebut diambil berdasarkan hukum dan pertimbangan faktual. Pendapat tersebut juga didukung oleh pakar hukum pidana UGM, Bambang Poenomo yang menilai putusan itu sempurna. Sehingga bisa dijadikan yurisprudensi.[21]
Putusan yang dijadikan yurisprudensi menurut Menteri Kehakiman (Oetojo Oesman) biasanya adalah suatu putusan yang dijatuhkan hakim yang berkedudukan di peradilan yang lebih tinggi yakni Mahkamah Agung. Namun tidak menutup kemungkinan putusan di lembaga peradilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) itu bisa dijadikan yurisprudensi asalkan penerapan hukum, proses peradilan dan keputusannya baik. Putusan itu harus berdasarkan hukum dan berlandaskan pertimbangan faktual. Seluruh data harus disusun secara baik. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada Peradilan Agama yang dalam keadaan khusus hasil putusan PA dapat menjadi yurisprudensi.
Seperti halnya kasus yang dimunculkan dalam Jurnal Mimbar Hukum yang berkaitan dengan masalah analisis yurisprudensi tentang beberapa kasus seperti:
a.          Kasus kewarisan, yang diulas dalam analisis yurisprudensi tentang kewarisan.
b.         Kasus gugatan nafkah, yang diulas dalam analisis yurisprudensi tentang gugatan nafkah.
c.          Kasus harta bersama, yang diulas dalam analisis yurisprudensi tentang harta bersama.
d.         Kasus guagat cerai dan hadlanah, yang diulas dalam analisis yurisprudensi tentang gugat cerai dan hadlanah.
Intisari dari analisis yurisprudensi tersebut adalah bahwa putusan MA yang akhirnya menjadi yurisprudensi adalah diambil dari putusan-putusan PA sebelumnya.[22]

2.      Kajian Teoris
Teori penemuan hukum dianggap relevan untuk diterapkan dalam penelitian ini. Karena teori inilah yang nantinya dapat mengarah pada terjadinya yurisprudensi. Walaupun istilah penemuan hukum masih dipermasalahkan di antara empat pengertian, yaitu pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum atau penciptaan hukum.[23] Akan tetapi justru empat pengetian itulah sebetulnya proses terjadinya penemuan hukum. Dalam kajian penemuan hukum digunakan sebagai upaya hakim dalam pelaksanaan, penerapan, pembentukan dan penciptaan hukum.
Penemuan hukum terasa urgen dalam konteks dinamika hukum di masyarakat, karena adanya perubahan hukum sebagai akibat adanya gap (kesenjangan) antara hukum formal yang mengatur dan dinamika masyarakat sebagai komunitas yang diatur hukum.[24]
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah pihak yang sangat berkompeten dalam penemuan hukum. Setiap hari hakim dihadapkan pada peristiwa kongkrit atau konflik yang harus diselesaikannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Jadi, sebenarnya hal penting dalam penemuan hukum ini adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa kongkrit. Hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam  bentuk putusan. Di samping itu hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan sumber hukum.[25]
Teori penemuan hukum memiliki dua metode, yaitu metode interpretasi (penafsiran) dan argumentasi. Metode interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada, akan tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Metode interpretasi ini dibagi menjadi 7 (tujuh) macam, yaitu interpretasi menurut bahasa (gramatikal), interpretasi teleologis atau sosiologis, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi komparatif, interpretasi puturistis dan interpretasi restriktif dan ekstensif.
Metode penemuan hukum argumentasi yaitu metode penemuan hukum dalam hal tidak ada peraturannya secara khusus, namun hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Di sini terdapat kekosongan peraturan perundang-undangan yang harus diisi atau dilengkapi. Sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya. Metode penemuan hukum terbagi menjadi tiga macam, yaitu argumentasi penganalogian (analogi/qiyas), penyempitan hukum dan argumentum a contrario. Ketiga metode penemuan hukum tersebut masih berakar kuat pada faktor heteronom dari undang-undang.
Dilihat dari aspek sistem tata urutan perundang-undangan, maka tidak ditemukan istilah yurisprudensi, tetapi apabila mencermati dari Pasal 2 aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, maka yurisprudensi masuk dalam kategori diakui sebagai sumber undang-undang. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya tentang sumber hukum normal yang mencantumkan perjanjian sebagai hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang-undang.
Dalam kasus yang berkaitan dengan masalah keberadaan hukum Islam di Indonesia yang sementara ini secara eksklusif dibahasakan dalam   pemberlakuan aturan di Indonesia, maka Kompilasi Hukum Islam dapat disejajarkan dengan yurisprudensi, karena Kompilasi Hukum Islam adalah satu-satunya kumpulan tentang masalah fiqh Islam yang dipakai sebagai sandaran menyelesaikan perkara  bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Hanya kalau diposisikan secara tepat, maka dapat dilacak dari pendapat para hakim Pengadilan Agama di 6 (enam) wilayah Pengadilan Agama di Jawa Tengah yang dijadikan sebagai obyek penelitian ini; dalam hal kedudukan Kompilasi Hukum Islam dibandingkan dengan yurisprudensi, maka dari 51 hakim agama dapat diurutkan jawabannya sebagai berikut:
a.         Yang memberikan jawaban bahwa yurisprudensi lebih tinggi daripada Kompilasi Hukum Islam sebanyak 11, 7 %. (6 Orang).
b.        Yang memberikan jawaban, bahwa Kompilasi Hukum Islam lebih tinggi dari yurisprudensi sebanyak 45,10 % (23 orang).
c.         Yang menjawab sama antara Kompilasi Hukum Islam dengan yurisprudensi adalah sebanyak 21, 70% (11 orang).
d.        Yang menyatakan tidak tahu sebanyak 1,9% (1 orang).
e.         Yang tidak memberikan jawaban 11,91 % (10 0rang)
Dari angka-angka tersebut menunjukkan bahwa posisi Kompilasi Hukum Islam yang dinyatakan lebih tinggi dari yurisprudensi sementara cukup beralasan, karena meskipun sama-sama digunakan secara berulang-ulang, tetapi produk Kompilasi Hukum Islam itu adalah produk pemerintah yang secara resmi dikeluarkan oleh yang berwenang (Instruksi Presiden), sementara yurisprudensi adalah melalui putusan Mahkamah Agung. 
Apabila dibandingkan dengan pendapat para hakim tinggi Agama Semarang, dalam hal posisi antara yurisprudensi dan Kompilasi Hukum Islam terdapat dua versi, sebagai berikut:
Versi pertama mengatakan  bahwa yurisprudensi lebih tinggi dari Kompilasi Hukum Islam dengan alasan: 1). Karena yurisprudensi berstatus sebagai sumber hukum 2). Karena Kompilasi Hukum Islam sudah diterapkan.   Sementara versi kedua memberikan jawaban bahwa antara yurisprudensi dan Kompilasi Hukum Islam itu sama, dengan alasan bahwa keduanya sama-sama menjadi dasar putusan hakim.
Untuk memposisikan Kompilasi Hukum Islam yang sementara ini  dipakai oleh hakim-hakim agama di seluruh Indonesia, maka dapat dikemukakan tentang pendapat hakim agama tentang penggunaan Kompilasi Hukum Islam sebagai landasan hukum sebagai berikut:
a.         Mereka yang menyatakan tidak pernah menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum sebanyak 5, 88 % (3 Orang)
b.        Mereka yang menyatakan kadang-kadang menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai alasan hukum sebanyak 39, 24 % (14 orang).
c.         Mereka yang selalu menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai alasan hukum sebanyak 52,96 % 27 orang).
d.        Yang tidak menjawab sebanyak 1,96 % (1 orang)
Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa tingginya prosentase yang memberikan jawaban bahwa Kompilasi Hukum Islam selalu menjadi landasan hukum menunjukkan bahwa posisi Kompilasi Hukum Islam yang merupakan produk dari para ulama’ yang sementara ini dituangkan dalam bahasa Indonesia akan mengurangi kebebasan para hakim dalam berijtihad (menelusuri sumber-sumber lain yang dipandang lebih akurat). Dan kebalikannya bagi  mereka yang tidak pernah menggunakan Kompilasi Hukum Islam posisi hakim menjadi terlalu longgar dalam pemikiran berijtihad. Hal ini karena sifat dari Kompilasi Hukum Islam itu adalah bersifat anjuran dan bukan merupakan kewajiban.
Dalam kaitannya dengan kedudukan yurisprudensi apabila dihubungkan dengan proses penyelesaian perkara di Pengadilan Agama, kiranya perlu diperjelas dan dipertegas, dalam hal hubungannya  dengan Kompilasi Hukum Islam, agar tidak terjadi overlapping dalam memposisikan antara keduanya.
Setiap produk hukum mempunyai kekuatan sendiri-sendiri sesuai dengan bentuknya.  Tata urutan sistem hukum yang menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai aturan tertinggi  mempunyai daya ikat yang lebih kuat dibandingkan dengan sistem hukum yang lain. Begitu juga penempatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) dan undang-undang yang ada di bawah Undang-Undang Dasar menunjukkan adanya tertib hukum yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara Indonesia, sebagai pemilik dan pengguna hukum.
Perbedaan antara yurisprudensi dengan undang-undang tidak selamanya dalam posisi yang atas bawah. Namun dalam hal tertentu, sebagaimana yang dikatakan oleh Poerwoto S. Ganda Subrata, dengan dipublikasikannya yurisprudensi tetap secara teratur dalam buku-buku yurisprudensi, selain akan memudahkan para hakim dalam memutus perkara-perkara sejenis, maka yurisprudensi tetap sebagai judge made law dapat menjadi sumber/bahan acuan pembentukan hukum nasional bagi badan-badan legislatif. Contohnya putusan Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali Karta dan Sengkong telah mempercepat lembaga hukum/upaya hukum sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
Hal ini apabila dikonfirmasikan  dengan pendapat hakim di Pengadilan Tinggi Agama tentang upaya menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai yurisprudensi dan proses untuk menjadi undang-undang, maka 75 % hakim menyatakan bahwa  upaya Kompilasi Hukum Islam menjadikannya yurisprudensi  adalah dilakukan dengan menjadikan dasar Kompilasi Hukum Islam dan yurisprudensi sebagai pendukung undang-undang, yang juga diperkuat oleh pendapat-pendapat hakim di Pengadilan Agama. Dengan demikian, apabila banyak putusan-putusan yang dapat diangkat menjadi yurisprudensi tetap, akan memperkuat posisi produk-produk hukum hakim yang akan dijadikan undang-undang.
Hanya saja di negara-negara yang menganut sistem kodifikasi dan unifikasi hukum dan mempunyai ketunggalan hukum, maka pembentukan yurisprudensi tetap, lebih mudah dibandingkan dengan di negara kita, di mana hukum kita berbhinneka (pluralisme hukum) di samping hukum tertulis yanng berbeda-beda untuk masing-masing golongan rakyat, juga mempunyai hukum tidak tertulis dan hukum adat yang beraneka ragam pula. Untuk membina yurisprudensi tetap di semua bidang itu selain berat dan rumit, juga membutuhkan tenaga dan pemikiran yang lebih banyak.[26]
Yurisprudensi Peradilan Agama, yang dalam perwujudannya merupakan akumulasi dari pemikiran-pemikiran para hakim agama diharapkan dapat menjelma menjadi berbagai rumusan hukum,  yang akhirnya tidak hanya berlaku di kalangan intern Peradilan Agama, tetapi juga lebih luas lagi adalah berlaku untuk semua lapisan masyarakat. Patut digaris bawahi apa yang dikatakan oleh Zarkowi Soeyoeti, pada saat memaparkan makalah tentang informasi mengenai sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam dalam Seminar Pemasyarakatan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, beliau menyatakan bahwa sejak dibangunnya proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi sebagai proyek Departemen Agama dan Mahkamah Agung, sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam memasuki periode baru ke arah terwujudnya secara nyata Kompilasi Hukum Islam di bidang yang menjadi kewenangan badan Peradilan Agama.[27]
Dalam membicarakan prospek Peradilan Agama pada hakekatnya adalah membicarakan prospek kekuasaan kehakiman di Indonesia. Bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kekuasaan yang bebas dari pengaruh eksekutif dan pengaruh-pengaruh extra-yudicial lainnya. Hal ini telah diketahui dan diakui. Akan tetapi apabila dalam kenyataannya tidak demikian halnya, adalah soal lain yang dari waktu ke waktu memerlukan pemikiran, karena sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang paling penting dalam mengatur negara adalah semangat para penyelenggara negara dan juga  semangat para pemimpin pemerintahan.[28]
Peluang untuk mengembangkan pemikiran di bidang Hukum Islam, terutama bagi para hakim agama atau hakim pada umumnya sesuai dengan petunjuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak jelas, melainkan wajib memeriksanya.[29] Hal ini diperkuat pada saat munculnya gagasan adanya Kompilasi Hukum Islam yang pada saat bicara pada landasan yuridis menyatakan bahwa landasan yuridis tentang pentingnya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat ialah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 70 Pasal 20 [1] yang berbunyi, “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, megikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.[30]


D.      Temuan Penelitian
Kajian disertasi ini menekankan pada persoalan putusan-putusan Peradilan Agama dalam beberapa aspek. Hal ini didasarkan atas berbagai temuan di lapangan dan dikaitkan dengan teori-teori yang ada. Sehingga dari analisis data-data yang diperoleh perlu ada pengembangan tentang permasalahan yang dikemukakan. Pengembangan yang dimaksud adalah seperti perumusan yurisprudensi yang atas dasar teori dan penemuan di lapangan dirumuskan menjadi tiga pengertian, yaitu :
1.    Yurisprudensi dalam arti putusan hakim terdahulu yang dijadikan pedoman bagi hakim-hakim sesudahnya dalam perkara yang sama;
2.    Yurisprudensi berarti keputusan pengadilan baik pengadilan tingkat pertama, banding maupun kasasi;
3.    Yurisprudensi dalam arti putusan hakim.
Persoalan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan hakim sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, mencakup tiga fungsi yaitu memutus, menggali dan menemukan hukum yang ada dalam masyarakat, maka dalam penerapannya para hakim bersifat fleksibel, artinya tidak semata-mata menggantungkan pada aturan-aturan yang ada, atau tidak menafsirkan secara bebas ataupun juga tidak berijtihad tanpa harus melihat terlebih dahulu peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada, akan tetapi ketiga-tiganya menjadi satu akumulasi pertimbangan yang saling mendukung. Artinya kalau putusan-putusan itu cukup menggunakan peraturan perundang-undangan, maka tidak perlu menggunakan cara-cara yang lain, akan tetapi bila dalam aturan-aturan itu  sulit untuk diterapkan apa adanya, maka peluang-peluang hakim yang berkaitan dengan menafsirkan undang-undang atau aturan baru diterapkan. Begitu juga dalam kaitannya dengan penggunaan ijtihad. Dalam pengertian lain istilah kebebasan yang dimiliki oleh hakim dalam memutuskan perkara itu bersifat longgar tapi terkendali.
Terkadang ditemui pula perbedaan metode mengemukakan landasan hukum yang dijadikan dasar hukum putusan, namun ini sebenarnya hal yang wajar. Karena memang perbedaan tersebut bukan berarti menyebabkan ketidakadilan hakim dalam memutus perkara. Perbedaan-perbedaan tersebut dilatarbelakangi antara lain adalah karena perbedaan metode istimbat yang digunakan. Di samping itu juga karena faktor problema yang dihadapi, kondisi dan karakter manusianya. 
Penggunaan ijtihad juga termasuk alternatif dalam mengambil putusan-putusan yang tidak di dapat di dalam aturan atau undang-undang. Dalam kaitan ini ijtihad yang paling sering digunakan oleh para hakim adalah memakai pola gabungan antara ijtihad insya’i dan intiqa’i, artinya di samping membandingkan dan mengumpulkan pendapat ulama’-ulama’ yang ada juga mengembangkan atau menafsirkan hal-hal yang perlu sesuai dengan tuntutan permasalahan dan masyarakat. Adapun aturan-aturan atau undang-undang yang digunakan oleh para hakim terutama yang menyangkut aspek-aspek hukum material kebanyakan dari hakim menggunakan atau menerapkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Disamping itu juga menggunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Dalam kaitannya dengan muatan hukum formalnya, maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan agama dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman juga menjadi acuan pokok dalam kaitannya dengan tugas dan kewenangan hakim.
Dalam kaitannya dengan dasar pertimbangan hukum, maka fakta di lapangan menunjukkan, bahwa meskipun KHI masih berbentuk Instruksi Presiden, yaitu Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, namun ternyata Kompilasi Hukum Islam justru paling sering dijadikan pertimbangan hukum putusan-putusan. Hampir semua putusan Pengadilan Agama yang diteliti dalam penelitian ini merujuk pada KHI, di samping peraturan perundang-undangan yang lain. Ini artinya bahwa tujuan dibentuknya KHI sebagai upaya unifikasi hukum mendekati kenyataan.
Dalam menjawab persoalan tentang sejauhmana putusan-putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama terkait dengan Undang-Undang atau peraturan yang ada, maka dapat dikemukakan bahwa: Setiap putusan tidak selalu terkait dengan undang-undang atau peraturan yang ada, artinya bahwa kadangkala putusan-putusan itu merujuk pada undang-undang dan peraturan yang ada dan kadangkala merujuk pada hal-hal yang tidak diatur dalam peraturan atau undang-undang. Yang dimaksud dengan merujuk kepada yang tidak ada dalam undang-undang adalah seperti merujuk pada Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kitab-kitab fiqh, meskipun dalam versi yang berbeda-beda. Artinya bahwa antara satu hakim dengan hakim yang lain atau antara pengadilan yang satu dengan yang lain intensitas penggunaan dasar hukum dimaksud tidak mesti  sama atau dengan kata lain berbeda-beda.
 Putusan-putusan Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama yang berkaitan dengan yurisprudensi selama kurun waktu 1991-1997 didominasi oleh putusan-putusan masalah perkawinan yang jenis-jenis perkaranya meliputi cerai talak, gugat cerai, poligami, dan sedikit sekali yang berhubungan dengan masalah kewarisan dan perwakafan. Bahkan ada beberapa Pengadilan Agama yang tidak menangani kedua perkara tersebut selama kurun waktu 1991-1997. Di samping itu pada umumnya para hakim PA dalam memutus perkara tidak secara eksplisit mencantumkan yurisprudensi sebagai dasar pertimbangan hukum putusan, akan tetapi mayoritas mereka mengakui menggunakan landasan yurisprudensi dalam memutus perkara, tetapi tidak selalu menyebutkannya dalam pertimbangan hukum naskah putusan.
Di sisi lain, persoalan Kompilasi Hukum Islam yang sementara ini masih diberi baju Inpres belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka perlu diupayakan untuk ditingkatkan kekuatan hukumnya, yaitu antara lain:
1.         Menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagi dasar utama putusan.
2.         Memprioritaskan Kompilasi Hukum Islam sebagi dasar hukum kedua setelah Undang-undang.
3.         Menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagi dasar pendukung pembuatan perundang-undangan.
Dalam kaitan ini, maka bagi para hakim yang meletakkan posisi Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar utama, sebelum mengambil dasar-dasar yang lain, suatu hal yang niscaya. Hal ini harus menjadi model yang digunakan oleh para hakim, baik pada tingkat Pengadilan Agama maupun pada tingkat pengadilan yang ada di atasnya dengan tidak meninggalkan ketiga prinsip tugas hakim yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970.
Dalam menjawab persoalan yang berkaitan dengan sejauhmana kontribusi yurisprudensi bagi pengembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia, maka dalam persoalan-persoalan yang sensitif seperti halnya poligami, dan pencatatan perkawinan  hendaklah menjadi catatan tentang dimungkinkannya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Demikian juga halnya dengan masalah kewarisan yang sementara ini masih menggunakan pilihan hukum (choice of law), maka perlu ada penegasan, agar tidak terjadi pemikiran mendua bagi para  pengguna hukum. Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah kedudukan Kompilasi Hukum Islam yang secara aplikatif masih menjadi andalan para hakim dalam memutuskan perkara, yang sudah seharusnya setelah hampir 10 tahun diberikan baju hukum Instruksi Presiden (Inpres), maka mempertimbangkan fakta di lapangan, sudah selayaknya  menjadi undang-undang.
Dari keseluruhan pembahasan tersebut di atas, memunculkan suatu teori hukum yang cukup penting bagi pengembangan eksistensi yurisprudensi dalam wacana pengembangan sumber hukum di Indonesia. Teori hukum tersebut peneliti namakan teori akomodasi induktif, yaitu teori hukum yang menyatakan bahwa hakim dalam memutus perkara harus mengakomodir berbagai aspek baik historis, sosiologis, maupun antropologis yang melingkupi suatu perkara yang dengan hal-hal tersebut semakin meyakinkan hakim dalam memutus perkara yang dihadapinya. Semakin banyak aspek yang diakomodir oleh hakim dalam memutus perkara, maka semakin validlah putusan yang dihasilkannya, sehingga kevalidan putusan hakim tersebut akan lebih menjamin kualitas putusan yang dihasilkan. Putusan yang berkualitas merupakan bagian dari resource yurisprudensi yang tentu akan membawa implikasi bagi semakin berkualitasnya yurisprudensi, sehingga ini akan membuka lebar peluang untuk menjadikannya yurisprudensi tetap. Semakin banyak jumlah yurisprudensi tetap tentu akan semakin meningkatkan variasi sumber rujukan hukum di Indonesia. Semakin banyak sumber hukum  yang menjadi landasan suatu putusan, tentu akan lebih menjamin bagi dihasilkannya putusan hakim yang betul-betul berkeadilan.
    

E.       Penutup

Putusan hakim mempunyai arti penting, baik bagi lembaga peradilan, pihak-pihak yang berperkara maupun bagi hakim itu sendiri.  Putusan hakim mempunyai arti penting bagi pengadilan, karena akan menjadi tolok ukur tentang sejauhmana kualitas putusan yang ditetapkan oleh lembaga Pengadilan Agama menjadi contoh lembaga pengadilan yang lain.  Dalam kaitan ini maka diharapkan agar putusan-putusan yang dibuat oleh hakim hendaklah mengacu pada landasan-landasan yang akurat, baik secara yuridis, sosiologis maupun antropologis. Ketiga rujukan ini harus menjadi pertimbangan utama bagi hakim agar makna-makna dan spirit yang terkandung di dalam ajaran dan hukum Islam dapat dinamis dan tetap mengakar pada etika keagamaan yang kuat. Oleh karena itu diharapkan agar hakim sesuai dengan fungsinya yaitu agar selalu menggali nuansa-nuansa falsafati hukum yang berasal dari perkembangan sosial dan kultural masyarakat dan produk-produk hukum yang ada di luar peradilan agama.

Putusan hakim mempunyai arti penting bagi pihak-pihak yang berperkara yaitu terciptanya rasa keadilan dan kepuasan bagi para pihak-pihak yang berperkara, sehingga akan menjadi public opinion bagi masyarakat bahwa hakim adalah sebagai penegak hukum yang selalu menjaga tegaknya prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan umat. Di samping itu  yang penting diperhatikan oleh hakim adalah bagaimana cara menciptakan kondisi suasana pengadilan yang familiar dan terhindar dari segala bentuk dan unsur KKN. Oleh karena itu pihak yang terlibat di dalam penyelesaian suatu perkara diharapkan saling memahami akan prinsip-prinsip kebersamaan.
Keputusan hakim mempunyai arti penting bagi hakim itu sendiri yaitu dalam rangka untuk menguji kualitas putusan yang idealnya dapat dijadikan sebagai standar terhadap putusan-putusan hakim sesudahnya. Dalam kaitan ini, maka ketelitian dan kedalaman hakim untuk menguasai permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan kemudian mendialogkannya dengan aturan-aturan atau norma-norma yang tepat untuk diterapkan.
Untuk mengimbangi peran dan kewenangan lembaga peradilan agama dalam bidang perdata Islam, maka perlu diambil langkah-langkah konkrit yang memungkinkan Pengadilan Agama menangani perkara-perkara yang berhubungan dengan kepidanaan, walaupun tidak harus dalam porsi yang menyeluruh, artinya dalam tahap awal menangani masalah-masalah yang dianggap cukup penting terutama yang menyangkut persoalan-persoalan ketenangan sosial.
Gagasan keterlibatan terhadap Peradilan Agama untuk menangani masalah-masalah kepidanaan untuk menghindari kesan bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran Islam di Indonesia masih bersifat parsial. Untuk menuju ke arah pengembangan kompetensi lembaga pengadilan agama tersebut, perlu ada peninjauan kembali terhadap undang-undang atau aturan-aturan yang berkaitan dengan lembaga peradilan agama, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tetang Peradilan Agama dan Inpres Nomor  1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Untuk kepentingan ke depan, hendaknya dipertimbangkan lebih serius tentang kemungkinan KHI berubah baju dari Instruksi Presiden menjadi Undang-undang, karena temuan di lapangan menunjukkan bahwa KHI sangat efektif digunakan oleh para hakim di PA sebagai pertimbangan hukum dalam memutus perkara. Sehingga dengan diundangkannya KHI, maka kekuatan hukumnya lebih mengikat dan ini berarti semakin memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.


Daftar Pustaka

Abdullah, Abdul Gani. “Pemasyarakatan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI” Makalah Seminar Nasional Pemasyarakatan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (Yogyakarta: Fak. Syari’ah UII, 22 Februari 1992).
Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum di Indonesia Akar, Sejarah Hambatan dan Prospeknya,  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Attamimi, A. Hamid S. “Peranan Putusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1990).
Departemen Agama Republik Indonesia,  Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama  Islam Departemen Agama RI, 1992-1993.
Falaakh, M. Fajrul. “Peradilan Agama dan Perubahan Tata Hukum Indonesia”, dalam Moh. Mahfud MD. (Ed.), Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1993).
Fuadah, Awaliyah. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Peninjauan Kembali Putusan PA Yang Memperoleh Hukum Tetap”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas. Syari’ah UII, 1995).
Hamzah, Andi. Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986).
Hasan, Ahmad. The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Pakistan: Islamic Research Institute Pakistan, 1970).
Johnson, Alven S. Sociology of Law, (terj.) Rinaldi Simora, Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994).
Jurnal Mimbar Hukum  (Jakarta; Ditbinbapera Islam).
Kramers, J. “Drit de I’Islam et Droit Islamiqu”, Vol. II, (Leiden: Brill, 1956), hlm. 63 – 64
Lubis, Nur Ahmad Fadhil. ”Islamic Justice in Transition: A Socio Legal Sudy of The Agama Cour Judges in Indonesia”, Disertasi, (Los Angeles: University of California, 1994).
Madkur, Muhammad Salam. al-Qad{a’ fi al-Isla>m, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1968), hlm. 38
Mahfud MD, Moh. dkk. (ed.), Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1993).
Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan The Asia Foundation,  Rangkuman Yurisprudensi  Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan The Asia Foundation, 1993).
Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Sosiologi” dalam Mastuhu dan Deden Ridwan (Ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Jakarta: Pusjarlit dan Nuansa, 1998).
Max,  Rheinstein, (Ed). Max Weber on Law in Economy and Society, Translated by Shids and M.Rheinsten, (Combridge: Howard University Press, 1954).
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1999).
Moehadjir, Noeng.  Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1990).
Mudzhar, Muhammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia (Sebuah Studi Kasus Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988), (Jakarta: INIS, 1993).
Oesman, Oetojo. ”Putusan Udin dapat Menjadi Yurisprudensi”, Kedaulatan Rakyat, 29 November 1997.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI,  1986).
Soekanto,  Soerjono dan Sri Marmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: CV. Rajawali , 1985).
Soeyoeti, Zarkowi. “Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Makalah Seminar Tentang Pemasyarakatan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Fakultas Syari’ah Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, tanggal 2 Februari 1992.
Subrata, HR. Purwata Ganda, Renungan Hukum, cet.1, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia Cabang Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1998.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2000).


Peneliti : Prof. Dr. Amir Mu'allim, MIS
Summarized by: M. Roem Syibly
Penelitian ini telah diterbitkan oleh: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2006