BERANDA

Rabu, 18 April 2012

MENGKAJI KEBUTUHAN FLOATING MARKET MUSLIM TERHADAP BANK SYARIAH

(Studi Kasus Anggota Pengajian Bisnis al-Kautsar NU di Wilayah DIY)

Oleh: M. Roem Syibly*


Abstract

Entrepreneurs of NU, engaged in the al-Kautsar religious gathering, can be deemed as having good education and structural position either as a member or an organizer. They declare that NU institutionally gives a big contribution to their business. Their companies are generally home-industries in which they themselves pay the capital. Though the profit is less than IDR 5,000,000, they are aware of developing their industries. Their participation in the Islamic organization, NU, does not mean that they do not choose the conventional banking system, not the shariah one. Their choice is based upon a consideration which banking system is more beneficial for them. To put simply, it can be said that they will be enthusiastic and interested in utilizing the services of shariah-banking system if they could get more benefits. However, they prefer interest system than profit-sharing system. They consider both systems as being at the same position and regard interest as religiously acceptable. Therefore, they believe that conventional banking system is allowed in Islam. Though having preference to conventional banking system, they still possibly utilize shariah-banking system as long as it can give more facilities and benefits and confess that shariah-banking system is in line with their religious doctrines.

Kata kunci: pasar mengambang, pengusaha NU, bank syariah.


A.    Latar Belakang Masalah.
Temuan Adiwarman Karim, bahwa berdasarkan potensi pasar ada tiga golongan pasar, yaitu pasar loyalis syariah atau pasar yang fanatik terhadap syariah[1], pasar yang mengambang (floating market) atau pasar yang tidak terlalu fanatik terhadap satu sistem perbankan,[2] dan pasar loyalis konvensional atau pasar yang fanatik terhadap bank bersistem konvensional dan bank syariah masih cenderung menggarap pasar loyalis syariah. Padahal, berdasarkan hasil penelitiannya[3] potensi pasar loyalis sebesar Rp 10 triliun, jika ingin bertahan hidup dan melebarkan sayap, maka bank syariah harus mulai membidik pasar mengambang yang potensinya mencapai Rp 720 triliun.[4]
Alhasil, potensi bisnis dengan nilai prediksi sebesar Rp 720 triliun tersebut membuat pelaku industri perbankan berlomba-lomba merebut pangsa pasar. Bila dipecah-pecah, pasar floating terdiri dari nasabah individual maupun korporasi yang menginginkan layanan perbankan biasa serta nasabah kakap yang tentunya membutuhkan layanan lebih bersifat privasi.[5] Pasar mengambang dengan potensi dana masih sangat besar itulah yang mestinya menjadi sasaran bank syariah.[6]
Warga NU yang identik dengan masyarakat muslim tradisional ini secara kelembagaan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya terhadap keberadaan perbankan di Indonesia, baik bank konvensional maupun bank yang berprinsipkan syariah. Kondisi ini merupakan gambaran bahwa warga NU bagian dari floating market yang menjadi sasaran potensial dalam pengembangan bank syariah. Hal tersebut didasarkan pada sikap NU terhadap perbankan syariah khususnya tentang bunga bank menyerahkan sepenuhnya pada pahamnya masing-masing. Dalam beberapa Muktamar, NU memutuskan tiga pendapat, yaitu kalangan yang menyatakan bunga bank itu termasuk haram, subhat, dan halal. Dengan demikian, masyarakat dipersilakan untuk memutuskan sendiri.[7] Pendapat ini diperkuat oleh Lajnah bahs˙u al-Masāil Nadhatul Ulama,[8] bahwa NU mempersilakan warganya untuk memilih sesuai dengan pemikirannya.[9]
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karaktersitik dan sikap perpengusaha NU terhadap bank syariah, sehingga didapatkan peta potensi pengusaha NU  khususnya di wilayah penelitian. Sehingga dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik masyarakat NU khususnya kelompok pengusaha terhadap sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional, dan untuk mengidentikasi sikap masyarakat NU khususnya kelompok pengusaha terhadap bank syariah, serta untuk mengidentifikasi faktor yang dominan mempengaruhi para pengusaha NU untuk memilih bank syari’ah. Hasil indentifikasi-identifikasi ini bermanfaat sebagai masukkan untuk meningkatkan efektifitas program sosialisasi perbankan syariah serta penyusunan strategi pemasaran bagi bank syariah yang telah ada di wilayah penelitian.

B.     Metode Penelitian
Penelitian ini seperti yang dimaksud oleh Nawawi sebagai penelitian lapangan (field research),[10] dengan mengambil unit analisis anggota pengajian al-Kautsar NU di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.[11] Untuk memudahkan kerja penelitian, penulis mengambil sampel 20% (47 responden) dari 229 Pengusaha NU. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan dua model, yaitu model convinient sample, yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan saja, anggota populasi yang ditemui peneliti dan bersedia menjadi responden di jadikan sampel[12] dan random sampling.
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penulis menggunakan metode kuesioner. Kuesioner merupakan suatu bentuk instrumen pengumpulan data yang sangat fleksibel dan relatif mudah digunakan.[13] Kuesioner pada penelitian ini dibagikan kepada responden pada saat pengajian bisnis al-Kautsar berlangsung selama empat pertemuan dengan jumlah sampel 29 sampel dan 18 sampel sisanya diperoleh dengan mendatangi responden dirumah/kantor mereka masing-masing dengan model random.
Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan model analisis deskriptif dan model regresi logistik. Analisis deskriptif diperlukan guna untuk menjelaskan atau menjawab bagaimanakah karaktersitik pengusaha NU terhadap bank syariah, dan bagaimanakah sikap pengusaha NU terhadap bank syariah. Analisis selanjutnya dengan model regresi logistik yaitu metode statistik yang mempelajari tentang pola hubungan secara matematis antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen.[14] Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk memprediksi probabilitas terjadinya (atau tidak terjadinya) suatu peristiwa yang menjadi pokok perhatian (“even”) berdasarkan nilai-nilai prediktor yang ada dan untuk mengklasifikasikan subyek penelitian berdasarkan ambang (threshold) probabilitas.[15]

C.    Gerakan NU dalam perekonomian
Embrio berdirinya NU berasal dari tiga organisasi. Masing-masing bergerak dalam bidang yang berbeda, Nahdlatu al-Tujjār pada tahun 1918 yang bergerak dalam bidang ekonomi, Taswiru al-Afkār yang bergerak dalam bidang keilmuan dan budaya pada tahun 1922, dan Nahdlatu al-Watan yang bergerak dalam bidang politik melalui bidang pendidikan pada tahun 1924. Dengan demikian ada tiga hal ini merupakan pilar NU yang meliputi wawasan ekonomi kerakyatan; wawasan keilmuan, sosial budaya; dan wawasan kebangsaan.[16]
Nahdlatu al-Tujjār adalah sebuah nama dari  Syirkah al-inān, yaitu usaha perdagangan dalam bentuk koperasi.[17] Diangkat selaku ketua koperasi K.H. Hasyim Asy’ari dan pemuda Abdul Wahab selaku manager yang menjalankan koperasi. Patungan saham dan modal usaha koperasi itu f. 1.125,- yang ditanggung bersama oleh 45 orang anggota masing-masing f.24,- namun sangat disayangkan belum ada yang mengetahui keberlanjutan koperasi tersebut karena belum diketahui bahan referensinya, kecuali hanya akte pendirian koperasi itu saja.[18] Meskipun demikian pembentukan koperasi itu menunjukkan bahwa sekitar  sepuluh tahun sebelum NU lahir telah dimulai suatu upaya dari lingkungan pesantren sendiri untuk menghimpun kegiatan besama walaupun pada waktu itu masih besifat lokal dan belum terencana secara utuh.[19]
Pendirian Nahdlatu al-Tujjār sebenarnya lebih banyak ditujukan untuk membangkitkan kepedulian boemi poetra terhadap merosotnya bangsa yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah penuntut ilmu, pudarnya bermacam-macam ikatan dan sebagian mereka telah membebaskan diri menjadi orang bebas sehingga tidak dapat melaksanakan shalat berjamaah.[20]
Di tahun 1930 didirikan sebuah lembaga wakaf, Lajnah Waqfiyyah yang tujuh tahun berikutnya berubah menjadi Waqfiyyah Nahdlatu al-‘Ulamā. Jatuhbanngunnya berbagai usaha ekonomi NU yang menjadi ladang sumber dana NU membuktikan bagaimana etos gerakan ekonomi nahdliyin rapuh dan seringkali luput dari pengamatan nahdliyin.[21]
Jadi, jelas kiranya bahwa perhatian ditekankan pada kesejahteraan umat, karena masalah sosial ekonomi menjadi pusat perhatian kiprah NU. Ada dua referensi penting yang perlu  mendapat catatan tentang legitimasi masalah-masalah tersebut: pertama, Nahdlatu al-Tujjār (kebangkitan para pedagang) yang didirikan tahun 1919 oleh sesepuh NU seperti KH. Hasyim Asy’ari (direktur), KH. Wahab Hasbullah (wakil direktur), KH. Bisri Syamsuri (sekretaris). Organisasi tersebut sebagaimana dijelaskan diatas merupakan salah satu embrio organisasi NU.[22] Kedua, pencanangan kembalinya NU pada garis perjuangan 1926 yang dikenal dengan kembali ke ‘Khittah[23] yang diamanatkan oleh Muktamar NU ke 27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur dan dimantapkan pada Muktamar NU ke 28 di Krapyak, Yogyakarta tahun 1989.
Dengan demikian cukup jelas di dalam era inilah bendera yang dikibarkan  NU adalah memperbaiki taraf hidup, kualitas dan kesejahteraan warganya melalui usaha atau program sosial ekonomi.[24]
Masalah lemahya posisi ekonomi warga dan kemiskinan serta sumber daya manusia sebenarnya telah diamati dan dibahas dalam muktamar NU ke 13 tahun 1935 yang mengamanatkan untuk mengadakan ‘Gerakan Pembangunan Ekonomi’ (Economische Mobilisatie) di kalangan warga NU, dibinalah berbagai jalur komunikasi NU diantaranya yang sangat efektif adalah forum lailatu al-ijmā’ di ranting-ranting.[25] Dibentuk pula berbagai kegiatan usaha bersama (koperasi).
Pada Muktamar ini pula disampaikan pikiran tentang Mabādi Khaira Umma oleh KH. Mahfudz Sidiq yang merupakan landasan etika usaha, yaitu as- Sidqu al-amānah wa al-wafā bi al-’ahdi dan at-ta’āwun. Namun, karena perang dunia kedua gerakan ini mandek. Stangnasi makin panjang karena kemudian NU terjun kedunia politik. Konsentrasi tercurah kepada urusan-urusan menghadapi pemilu, memperbanyak wakil-wakil NU di DPR dan urusan-urusan politik praktis lainnya yang kemudian sampailah pada tekad dan semangat kembali ke Khittah.[26]
Kiprah yang dibangun NU dalam bidang ekonomi dimulai kembali dari pernyataan diri menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan kembali ke khittah 1926, NU memusatkan diri pada pengembangan pendidikan dan dakwah islamiah. NU menfokuskan program-program barunya  yang mengarah pada transformasi sosial ekonomi dan menjadikan NU semacam lembaga pengembangan swadaya masyarakat (LPSM).
NU berusaha mengembangkan masyarakat melalui pesantren yang menjadi basis pendukungnya. Oleh karena itu, NU bekerjasama dengan lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial (LP3ES). Pada tahun 1983, kalangan NU mendirikan LSM sendiri dengan nama Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang tentu saja sasaran kegiatan P3M adalah para nahdliyin.
Munas 1983 mengeluarkan rekomendasi tentang soal-soal kemudahan ibadah Haji, pengawasan makanan dan minuman, bimbingan bagi mualaf, dukungan terhadap percontohan bidang pendidikan, koperasi, bantuan hukum, dan penyediaan air bersih. Untuk menterjemahkan dan merealisasikan rekomendasi-rekomendasi itu, NU mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam).
Setelah Muktamar Situbondo, Jawa Timur, Lakpesdam memiliki unit pelaksanaan program, yaitu lembaga kemaslahatan keluarga Nadlatul Ulama (LKK-NU). Kemudian pasca Muktamar Krapyak, NU mempelopori pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yang menyediakan pinjaman bagi para pengusaha kecil yang menjadi mayoritas basis NU.[27]
Pada 1990, NU mengambil ijtihad ekonomi yang penting. Berkongsi dengan Bank Summa, PB NU membentuk Bank Perkreditan Rakyat Nusumma. Hanya dalam satu tahun, bank yang diorientasikan untuk mengucurkan kredit usaha kecil di pedesaan itu limbung setelah induknya, Summa, rontok dihantam kredit macet.
NU sebenarnya memiliki konsen untuk menggarap bidang perekonomian. NU, misalnya, memiliki Lembaga Perekonomian NU (LPNU) yang tersebar di 24 wilayah dan 207 cabang di seluruh Indonesia. NU juga mempunyai Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU) di 19 wilayah dan 140 cabang.
Selain itu, NU mempunyai Induk Koperasi Pesantren (Inkopotren), Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU (LPTKNU), dan Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi). Namun, dibanding dengan gerakan tradisi intelektual dan politik, program ekonomi dan pemberdayaan sosial menjadi gerbong terakhir dari lokomotif NU. Program-program NU di bidang ekonomi jauh dari memadai. Sebagian masih wacana dan belum menyentuh masyarakat secara langsung.[28]
Usaha NU dalam membangun ekonomi secara historis sudah cukup jelas, namun sangat disayangkan sampai saat ini mayoritas warga NU masih dibawah garis kemiskinan.[29] Kemiskinan merupakan salah satu permasalah utama warga NU dimana sebagian besar warganya adalah kalangan rakyat kecil, seperti petani, nelayan, pedagang kaki lima, tukang becak, buruh, dan sejenisnya.[30] Begitu juga disampaikan oleh Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, bahwa selama ini wilayah tertinggal banyak didominasi warga nahdliyin.[31]
Berdirinya lembaga-lembaga perekonomian di struktural NU diatas cukup menjelaskan bahwa usaha-usaha dibidang ekonomi tidak memberikan kontribusi berarti dan juga memperlihatkan betapa rapuhnya konsep perekonomian NU yang tidak dibangun dengan sistematis.
Di wilayah DIY, dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan kondisi perekonomian warga, telah berdiri lembaga pemberdayaan ekonomi untuk para Nahdliyin, yaitu Majlis at-Tujjar dan Pengajian al-Kautsar. Majelis at-Tujjar didirikan oleh Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU), PW-NU DIY yang diharapkan dapat memacu semangat kemandirian kalangan Nahdliyin  di bidang ekonomi.
Menurut ketua PW LPNU DI Yogyakarta, Mardiyanto, pihaknya berupaya mengikuti jejak para pendiri NU: KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Sansuri. Ketiga tokoh utama itu memulai perjuangannya dengan memberdayakan ekonomi warga melalui Nahdlatu al-Tujjār pada 1918. Kiai Hasyim sebagai ketua, Kiai Wahab sebagai manajer program, dan Kiai Bisri sebagai bendahara.
Dalam progamnya, At-Tujjar akan menghadirkan para pakar bisnis, praktisi bisnis, konsultasi bisnis, bahkan sampai memberikan akses bisnis bagi warga NU. Seperti yang dilakukan pada pengajian perdananya, At-Tujjar menghadirkan pembicara yang memberikan dorongan tentang kiat-kiat pebisnis pemula dalam mengembangkan jaringan usaha.[32]
Sama halnya lembaga diatas, Pengajian bisnis al-Kautsar adalah sebuah organisasi independen berbadan hukum yang memposisikan dirinya sebagai media pembedayaan ekonomi bagi warga nahdliyin melalui wirausaha, untuk meningkatkan kualitas hidup warga nahdliyin yang tidak diuntungkan oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik kearah yang lebih baik melalui berbisnis secara jujur, cerdas, islami dan bermoral.
Kelahirannya dibidani oleh pengurus NU wilayah DIY juga diharapkan mampu menjadi ‘matahari’ bagi mereka yang kelam atau mungkin dikelamkan secara ekonomi.[33] Menurut data yang diperoleh di pengurus wilayah NU DIY, di wilayah DIY yang tecatat sebagai pengusaha nahdliyin ada 229 pengusaha. Dan dari 229 pengusaha NU yang tersebar di wilayah DIY tersebut secara umum bergerak dalam


D.    Sikap NU terhadap bunga bank
republika.co.id
Permasalahan bunga bank dan sejenisnya sudah muncul sejak Muktamar ke II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927)[34] yang antara lain dikemukakan adanya tiga pendapat, yaitu haram, halal dan subhat. Sedangkan Muktamar memutuskan haramnya ‘bunga’ gadai untuk lebih hati-hati. Keputusan ini berdasarkan atas keterangan dari kitab al-Asybāh wa an-Nazāir dan I’ānah at-Talibīn juz III/56 bab al-qard, yang artinya “(dan di antaranya) kalau sudah menjadi kebiasaan umum mengenail bolehnya memanfaatkan barang gadaian oleh orang yang memegangnya, apakah dapat menempati syaratnya sehingga rusak? Jumhur berpendapat tidak, sedangkan al-Qaffal berpendapat ya.” (Asybāh wa an-Nazāir)[35]
Sedangkan dalam kitab I’ānah at-Talibīn juz III/56 bab al-qard berbunyi, “Dan orang-orang yang berhutang dibolehkan memanfaatkan pengembalian lebih dari orang yang berhutang, baik kadar maupun sifatnya, seperti sesuatu yang jelek dikembalikan dengan yang lebih baik, tanpa ada perjanjian dalam akad. Bahkan yang demikian itu disunnahkan bagi orang yang berhutang. Sampai dikatakan, adapun hutang dengan perjanjian adanya manfaat (tambahan) bagi yang menghutangi, maka hal itu tidak sah (dilarang) berdasarkan Hadist: sumua yang berdimensi mengambil keuntungan (bunga) adalah riba”. (I’ānah at-Talibīn)[36]
Keputusan di atas juga dijadikan sandaran pada Muktamar ke XII (Malang, 20-24 Juni 1937)[37] bagi haramnya bunga bank karena disamakan dengan bunga gadai, berdasarkan rujukan sebagaimana keputusan Muktamar ke II, yaitu kitab al-Asybāh wa an-Nazāir dan I’ānah at-Talibīn juz III/56 bab al-qard.
Kemudian Muktamar ke XIV (Magelang, 15-21 Juli 1939)[38] memutuskan mengenai hukum bunga koperasi yang agak berbeda dengan keputusan sebelumnya, yakni dikaitkan dengan hukum bunga koperasi dengan ada-tidaknya perjanjian dalam akad dan apakah perjanjian itu lisan atau tertulis
Disusul kemudian oleh keputusan Konferensi Besar Syuriah NU (Surabaya, 19 Maret 1957)[39] yang sekali lagi menegaskan haramnya bunga bank dan gadai. Keputusan ini didasarkan pada keterangan dalam kitab-kitab yang juga disebutkan sebelumnya: Kitab I’ānah at-Talibīn juz III/20:[40], Kitab at-Tuhfah Juz II/24,[41] dan Kitab I’ānah at-Talibīn juz III/56.
Kemudian Muktamar ke XXV (Surabaya, 20-25 Desember 1971)[42] menegaskan mengenai haramnya bunga deposito untuk kehati-hatian, setelah mengemukakan adanya tiga pendapat dalam hal ini, yaitu; haram, halal dan subhat. Argumen keputusan ini mengacu pada keputusan Kongres/Muktamar ke II tahun 1927 dan Kongres/Muktamar ke XII tahun 1937 yang sama-sama mengharamkan bunga.
Dalam Munas Alim Ulama NU (Cilacap, 15-18 Nopember 1987)[43]  memutuskan bahwa uang administrasi bagi peminjam uang koperasi disamakan dengan bunga yang haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada makna hadis Nabi saw; “Semua piutang yang berdimensi mengambil keuntangan adalah riba.”
Pembahasan mengenai bunga bank mencapai klimaknya dalam Munas Alim Ulama di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992) saat mana metode manhajiy resmi diputuskan untuk diterapkan dalam Lajnah bahs˙u al-Masāil. Metode ini untuk pertama kalinya dipergunakan dalam menyelesaikan masalah bunga bank dengan jawaban sebagai berikut:
1.     Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
2.     Ada pendapat yang tidak mempersamakan antara bunga bank dengan riba sehingga hukumnya boleh.
3.     Ada pendapat yang mengatakan hukumnya subhat (tidak identik dengan haram).

E.     Temuan Penelitian
1.      Karakteristik Responden.
Mereka yang terjun di dunia bisnis komposisi secara umum antara yang masih secara aktif sebagai pengurus dan hanya sebagai anggota NU jumlahnya seimbang 51% berbanding 48.9% dan dari keseluruhan responden umumnya masih aktif dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian NU. Selain itu, mereka merasa selama ini NU juga ikut memiliki konstribusi terhadap kemajuan usaha, minimal dalam bentuk saling kerjasama bisnis, saling bertukar informasi, pelatihan pengelolaan bisnis, dan memediatori untuk berhubungan dengan perbankan. Gambaran ini  cukup memberi gambaran bahwa fungsi-fungsi oganisasi NU masih cukup signifikan terhadap jalannya bisnis warga NU.
Dari 47 responden, 72.3% diantaranya telah menempuh pendidikan tinggi. Data ini memberikan penjelasan bahwa warga NU yang terlibat di dunia bisnis khususnya di wilayah DIY telah memiliki pendidikan yang cukup baik, bahkan banyak diantaranya telah menempuh strata 2 dan strata 3. 
Bentuk usaha yang mereka tekuni 74.5%-nya masih dalam bentuk home industri (industri berskala keluarga) dan hanya 8.5% saja yang sampai pada bentuk perseroan. Bentuk home industri yang umumnya ditekuni ini sudah barang tentu berbading lurus dengan pendapatan hasil usahanya, yaitu ada 68.1% yang memiliki penghasilan dibawah lima juta, dan 25.6% antara 6-10 juta/bulan dana ada tiga responden yang memiliki tingkat penghasilan tinggi, adalah mereka yang memiliki bentuk usaha perseroan terbatas, yaitu diatas 11 juta/bulan.
Demikian juga dengan modal yang mereka putar untuk usaha, skala usaha yang kecil tentu tidak memerlukan modal yang banyak sehingga pada umumnya responden mendapatkan modal dari kantong sendiri dan hanya ada 36.2% yang menggunakan jasa perbankan. Yang yang manarik dari perjalanan bisnis yang mereka lakukan adalah adanya semangat untuk terus mengembangkan usahanya, yaitu ada 61.7% yang menggunakan hasil usahanya untuk investasi baru walaupun jumlah tidak begitu besar.
Kemudian, untuk mendapatkan modal dan sekaligus tempat menabung dari hasil usaha atau pengahasilan lainnya, secara umum responden masih menggunakan jasa bank konvensional, yaitu 80.8%, dan hanya ada 12.8% yang menggunakan jasa bank syariah, sisanya menggunakan jasa koperasi. Temuan di atas menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat NU khususnya pelaku bisnis, masih diberikan kepada bank konvensional dibanding dengan bank syariah.
Data ini juga menunjukkan bahwa responden tidak berminat menggunakan jasa koperasi, padahal cikal-bakal usaha NU adalah dalam sektor koperasi dengan nama Majlis Tujjar yang dipimpin langsung oleh pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari.

2.      Sikap Pengusaha NU Terhadap Bank Syariah.
Pilihan responden terhadap bank yang menjadi rujukan terkait erat dengan keuntungan. Ada 83% yang merujuk pada bank yang lebih menguntungkan, dan hanya ada satu responden yang posisinya agak setuju. Hal ini dapat dilihat dari pilihan responden berikutnya, bahwa walaupun responden secara umum masih memilih menggunakan jasa bank konvensional, namun bila ada kemudahan yang lebih baik yang ditawarkan dibandingkan bank konvensional, maka responden antusias untuk mencoba bank syariah. Angka 82.9% adalah nilai signifikan untuk beralih ke bank syariah dan ditemukan hanya ada 4.3% yang tetap memilih bank konvensional. Data ini cukup memberi gambaran bahwa, keuntunganlah yang menjadi motif terhadap pilihan perbankan. Mungkin ini sesuai dengan mindset pelaku bisnis secara umum bahwa keuntunganlah yang menjadi terget bisnis.
Dengan demikian, Bank Syariah harus mempu menunjukkan dengan membuktikan kepada para pelaku ekonomi NU bahwa bertransaksi di bank syariah lebih menguntungkan dari pada bank konvensional. hal ini sangat penting mengingat potensi sektor ini sangat besar.
Jasa perbankan syariah yang diinginkanpun berbandinglurus dengan dunia bisnis, yaitu produk-produk pembiayaan dan tabungan, yaitu 68.1% dan 31.9%. Pengetahuan responden terhadap bank syariah sebagian besar berasal dari  informasi media masa dan hanya sebagian kecil yang mendapatkannya dari proses pendidikan.
Bank syariah yang dikelola atas fundamental ajaran-ajaran Islam ditanggapi oleh responden secara berbeda-beda, namun secara umum mereka percaya bahwa bank syariah sesuai dengan ajaran agama yaitu ada 82.9% walaupun ada sebagian yang tidak tegas atas kesesuaian ini dan walaupun mereka menyadari bahwa bank syariah sesuai dengan ajaran agama, namun responden pada umumnya cenderung lebih tertarik pada sistem bunga.
Data ini sangat penting bagi pengembangan bank syariah dengan berpromosi lebih banyak kemedia, baik cetak maupun elektronik, atau bila memungkinkan melalui media mereka sendiri.
Tentang transaksi yang ada di bank syariah yang selama ini mereka pahami tidak begitu sulit, secara umum mereka menyatakan mudah bertransaksi di bank syariah. sikap ini didukung oleh temuan bahwa ada 80.8% responden yang telah mengenal produk bank syariah dan 47.8% di antaranya telah mengenal lebih dari tiga produk bank syariah, yaitu wadiah, mudlarabah dan murabahah dan produk lainnya dan hanya ada 1 responden yang sama sekali tidak mengenal produk bank syariah.
Namun demikian, walaupun ada 80.8% mereka telah mengetahui produk bank syariah, namun bagi mereka produk bank syariah masih cukup asing, ini terlihat dari 85.1% responden yang menyatakan susah memahami produk bank syariah dan hanya ada 14.9% yang berpendapat sebaliknya. Mereka masih sangat familier dengan istilah-istilah pada perbankan konvensional. Temuan ini berarti bahwa walaupun mereka mengetahui produk-produk bank syariah tetapi tidak memahaminya.
Sepengetahuan mereka, pelayanan bank syariah masih belum memuaskan. Data menunjukkan bahwa ada 85.1% responden yang menyatakan pelayanan bank syariah belum memuaskan, dan kecil sekali yang menyatakan sebaliknya. Temuan ini mungkin saja juga menjadi gambaran bahwa secara umum responden masih menggunakan bank konvensional adalah bentuk dari belum memuaskannya pelayanan bank syariah.[44] Tetapi yang cukup menggembirakan adalah mereka masih menginginkan infomasi lebih banyak tentang bank syariah, yaitu ada 95.7%. ini adalah potensi yang bisa dilakukan oleh pihak bank syariah untuk memberikan informasi yang benar dan lebih menguntungkan tentang bank syariah kepada pelaku bisnis warga NU di wilayah DIY. Saat ini bank syariah yang justru mendapat sedikit image negatif dari mereka, mungkin akan sangat produktif bila dijelaskan kemajuan, produk, dan pelayanannya yang dari waktu-kewaktu terus di update.[45]
Beberapa penelitian sebelumnya, keberadaan bank syariah yang mudah dijumpai menjadi salah satu pertimbangan untuk menggunakan jasa bank syariah. pada penelitian ini juga mendapat tanggapan yang sama dari responden bahwa secara umum menyatakan masih jarang dijumpai kantor bank syariah 74.5%.
Kemudian, secara umum mereka menilai hukum bunga bank subhat dan halal dan sisanya menghukumi haram 19.2%. Temuan data di atas memberikan gambaran pada sikap warga NU khususnya di kalangan pengusaha yang masih melihat bunga bank sebagai sesuatu yang dibolehkan dalam hukum Islam. Sikap inipun samasekali tidak bertentangan dengan sikap organisasi NU yang memberikan kebebasan kepada warga NU untuk menghukumi bunga bank pada bank konvensional, yaitu halal, subhat dan haram.
Melihat sikap-sikap diatas, warga nahdliyin memandang bank syariah dengan konvensional pada posisi sama saja, atau bahkan bank syariah lebih buruk bila dibanding dengan bank konvensional.
Setelah dianalisis secara deskriptif, dilanjutkan analisis dengan menggunakan regresi logistik. Dari hasil uji logistik menyimpulkan bahwa:
a.       Pertama, Pendidikan, dengan koefisien = 1,232. Tanda positif berarti semakin tinggi pendidikan seorang pengusaha, maka semakin tidak setuju memilih sistem bunga dan lebih cenderung memilih sistem bagi hasil. Nilai sig (p) = 0,103 > 0,05 dapat dikatakan pendidikan yang tinggi tidak berpengaruh terhadap pilihan sistem bagi hasil dari pada sistem bunga. Kedua, Penghasilan, dengan koefisien = -1,564 tanda negatif berarti semakin tinggi penghasilan pengusaha maka semakin memilih sistem bunga dari pada bagi hasil. Nilai sig (p) = 0,076 > 0,05 maka dapat dikatakan tingginya penghasilan tidak berpengaruh terhadap variabel pilihan sistem bagi hasil dari pada sistem bunga. Ketiga, Hukum bunga, Dengan koefisien = 1,835 tanda positif berarti semakin tinggi skor memghukumi bunga bank haram, maka semakin memilih sistem bagi hasil dari pada sistem bunga. Nilai sig (p) = 0,002 < 0,05 maka dapat dikatakan pendapat terhadap hukum bunga haram berpengaruh signifikan terhadap lebih memilih bagi hasil.
b.      Pertama, Pendidikan, dengan koefisien = 1,899. tanda positif berarti semakin tinggi pendidikan responden maka semakin menyatakan bahwa bank syariah dan konvensional tidak sama, atau dengan kata lain semakin tinggi pendidikan maka semakin tidak setuju bila bank syariah dan konvensional sama saja. Sig (p) = 0,027 < 0,05 maka dapat dikatakan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pendapat bank konvensional dan bank syariah tidak sama. Kedua, Penghasilan, Dengan koefisien = -0,541 tanda negatif berarti semakin tinggi penghasilan responden maka semakin bersikap bahwa bank syariah dan konvensional sama saja, atau dengan kata lain semakin tinggi penghasilan maka semakin setuju bila bank syariah dan konvensional sama saja. Sig (p) = 0,404 > 0,05 maka dapat dikatakan penghasilan yang tinggi memandang bahwa bank syariah dan konvensional sama saja. Ketiga, Hukum bunga, Dengan koefisien = 1,606 tanda positif berarti semakin tinggi pendapat hukum bunga haram maka semakin bersikap bahwa bank syariah dan konvensional tidak sama atau dengan kata lain berarti responden yang berpendapat haram lebih tidak setuju terhadap pendapat bank syariah dan konvensional sama saja. Sig (p) = 0,004 < 0,05 dapat dikatakan pendapat terhadap hukum bunga berpengaruh signifikan terhadap sikap bank syariah dan konvensional tidak sama.
c.       Pertama, Pendidikan, dengan koefisien = -0,069 tanda negatif berarti semakin tinggi pendidikan responden maka semakin bersikap bahwa bank syariah tidak sesuai dengan ajaran agama atau dengan kata lain semakin tinggi pendidikan maka semakin tidak setuju terhadap dukungan bahwa bank syariah karena sesuai ajaran agama. Sig (p) = 0,9278 > 0,05 maka dapat dikatakan pendidikan tidak berpengaruh terhadap sikap bank syariah sesuai ajaran agama. Kedua, Penghasilan, dengan Koefisien = 0,091 tanda positif berarti semakin tinggi penghasilan responden maka semakin tinggi sikap bahwa bank syariah sesuai ajaran agama, namun sikap ini  tidak signifikan. Sig (p) = 0,888 > 0,05 dapat dikatakan penghasilan tidak berpengaruh terhadap sikap mendukung bank syariah sesuai ajaran agama. Ketiga, Hukum bunga, Dengan koefisien = 1,171 tanda positif berarti semakin tinggi pendapat hukum bunga haram, maka semakin tinggi sikap bahwa bank syariah sesuai ajaran agama, atau dengan kata lain berarti responden yang berpendapat haram lebih setuju terhadap bila bank syariah  sesuai ajaran agama.

F.     Penutup.
Pengusaha NU yang jumlahnya cukup banyak khususnya di wilayah penelitian merupakan pasar mengambang yang potensial bagi pengembangan bank syariah. Mereka percaya bahwa bank syariah sesuai dengan ajaran agama - walaupun tidak memandang bunga bank haram – dan  mereka cukup familier dengan produk-produk bank syariah, namun bukan merupakan faktor utama pilihan terhadap bank syariah. Faktor keuntungan, pelayanan, kemudahanlah, dan kedekatan kantor cabang yang menjadi faktor utama mereka bisa beralih dari bank konvensional ke bank syariah. oleh sebab itu, perlu kiranya bagi bank syariah untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan, keuntungan (bagi hasil) yang lebih baik dari pada sistem bunga, dan menambah jumlah kantor-kantor cabang.

DAFTAR PUSTAKA

al-Bakriy, Abu Bakr Usman Bin Muhammad Syattā. 1995. Hāsyiyah I’ānah at-Talibīn. juz III. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Asmani, Jamal Ma'mur. 2004. “Khittah NU Menjelang Pilpres II”, dalam Suara Merdeka, Rabu, 01 September 2004.
As-Suyūtiy, Jalaluddin. tt. al-Asybāh wa an-Nazāir fi al-Furū’, Dāhyā’ al Kutub al-‘Arabiyyah.
Asyi, Zul. 1990. Nahdlatul Ulama, Studi Tentang Faham Keagamaan dan Upaya Pelestariannya Melalui Lembaga Pendidikan Pesantren. Jakarta: Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah.
Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Choirie, A.Effendy,  “Menyambut Harlah Ke-82 NU,” dikuti dari http://gp-ansor.org/?p=4044.
David HW and Lemeshow S. 1989. Applied Logistic Regression. New York: John Wileyang Sons, Inc.
Esposito, John L. 2001. Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan.
Fatwa, Jarkon. 2004. Sekilas Nahdlatu al-Tujjār, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
H.B.N.O. 1939. Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama’ jang ke-14, Soerabaya: H.B.N.O.
Kendal, Ahmad Abdul Hamid. 1938. Putusan Kongres Jamiyyah Nahdlatul Ulama Kaping 12, Kudus: TBS Koedus.
Kotler, Philip. 1997. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control, Ninth Edition, New York: Prentice-Hall.
Kudus, Abdul Djalil Khamid. tt. Ahkām al-Fuqahā fi Muqarrarāt Mu’tamarāt Nahdatul ‘Ulama, Kumpulan Masalah-masalah Diniyah dalam Muktamar NU, Juz I, Semarang: Toha Putra.
“Lembaga Perekonomian NU Yogya Bentuk Pengajian Bisnis ‘At-Tujjar’” dikutip dari  http://www.nu.or.id/
Mahfudz, Sahal. 2003. Bunga Bank Belum Jadi Fatwa MUI, dikutip dari http://www.suaramerdeka.com.
Martha, M Fajar. 2003. “Saatnya Bank Syariah Garap Pasar Mengambang,” dalam Kompas. Kamis, 07 Agustus 2003.
Masudi, Masdar F,. 2004. “Soal Bunga Bank, Muhammadiyah dan NU Tidak Berubah,” dikutip dari http://www.tempointeraktif.com.
Masyhuri, Azis. 1997. Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama, Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press.
“Metodologi penelitian pengukuran (measurement) & sampling,” dikutip dari http://yudhiher.files. wordpress.com/.
Munir, Rozy. 1994. “Nahdhatul Ulama dan Reorientasi Wawasan Ekonomi,” dalam Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan Keislaman, Yunahar Ilyas dkk (ed), Yogyakarta: kerjasama LPPI UMY, LKPSM Nudan PP.Al-Muhsin.
Muzadi, Abdul Muchit. 2006. Mengenal Nahdlatul Ulama. Surabaya: Khalista.
Muzadi, Hasyim, ‘PDT,MNC, dan PBNU Entaskan Kemiskinan’ dikutip dari http://www.lukman-edy.web.id/.
“Nahdlatu al-Tujjār Sebagai Embrio NU,” dalam http://www.nu.or.id/ page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=144,
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
“Perbankan II Gus Dur Membidik Ficor” dalam Gatra Nomor 14/V, 20 Februari 1999,
“Perbankan Syariah Makin Diminati Masyarakat,” dikutip dari  www.sinarharapan.co.id/ ekonomi/ promarketing/2004/1009/prom1.html.
Perbankan Syariah yang Semakin Memikat, dalam harian Kompas, 30 April 2003.
Subeno, Bambang Tri, “Masa Depan Perbankan Syariah di Indonesia” (2-Habis), dikutip dari http://www.pesantrenonline.com/.
Zahro, Ahmad. 1999. Lajnah bahs˙u al-Masāil Nahdlatul Ulama, Telaah Kritis Terhadap Keputusan Hukum Fiqih. Yogyakarta: Disertasi IAIN Sunan Kalijaga.
Zulaela. 2006. Modul Praktikum Analisis Data Kategorik. Yogyakarta: UGM.


Sumber:
Jurnal Studi Agama Millah Vol. VIII, No. 1, Agustus 2008. Halaman 89-106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar