BERANDA

Selasa, 17 April 2012

KEMITRAAN ZAKAT


Opini

Oleh: Amir Mu'allim dan M.Roem Syibly

foto.detik.com
 
Pro dan kontra seakan sudah menjadi bumbu setiap lahirnya UU baru di negeri ini, demikian juga dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebagian pihak sangat kecewa dan memandang UU baru ini tidak lebih baik dari UU sebelumnya, pemaksaan BAZNAS menjadi lembaga kuat dan terkesan mengkebiri kemandirian LAZ yang sebelumnya sudah jauh lebih mandiri dan telah berperan sangat signifikan dalam pengumpulan, pendayagunaan dan pendistribusian zakat umat Islam. Pemerintah pada UU yang baru justru dicurigai akan melakukan politisasi pada kerja-kerja sosial ini. Tetapi disisi lain, ada yang memandang sebaliknya, bahwa UU ini lahir sebagai jawaban atas evaluasi terhadap perzakatan di tanah air termasuk didalamnya kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 38 Tahun 1999.
Apapun itu, suka tidak suka, setuju tidak setuju, mendukung tidak mendukung, UU Nomor 23 tahun 2011 ini telah lahir. Perdebatan seharusnya kita tempatkan pada saat masih pada tingkat RUU. Kita berharap jangan sampai ada yang “ngambek” dengan kelahiran UU ini, sehingga dakwah yang mulia ini harus terhenti. Saat ini yang paling arif menyikapinya adalah selalu berkhusnudhon dan terus berkarya untuk umat.
Disaat banyak orang-orang yang menggendutkan perutnya, maraknya praktek korupsi untuk memperkaya diri dan begitu susah payahnya pemerintah dengan berbagai program yang meghabiskan trilyunan uang rakyat untuk menanggulangi kemiskinan, namun tidak ada dampak signifikan, tetapi justru LAZ tampil sebagai pahlawan, secara mandiri mampu secara sigifikan membantu kaum lemah. Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ) mengungkap melalui rilis survei ilmiahnya tentang pembangunan sosial dan perzakatan bertajuk Indonesia Zakat and Development Report (IZDR) 2011. Survei tersebut telah membuktikan bahwa zakat memberi andil mengurangi kemiskinan dhuafa penerima zakat hingga 10,79 persen.
Saya yakin, kehadiran pemerintah untuk ikut berperan pada wilayah yang selama ini milik masyarakat  akan disambut gembira bila pemerintah telah sangat meyakinkan ikut berperan aktif, tetapi yang terdengar justru sebaliknya, pemerintah memiliki tiperecord yang buruk dalam mengelola pundi-pundi keuangan negara, ambil contoh tentang pengelolaan pajak, lembaga pajak menjadi lembaga sarang koruptor.
Disisi lain, dalam sejarah peradaban Islam, kesuksesan zakat justru dilelola oleh institusi negara, karena negara sangat berperan penting terhadap stabilitas ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat ekonomi lemah, oleh sebab itu, zakat harus dikelola oleh negara. Sebagaimana juga pendapat al Fara dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyah,  menyebutkan bahwa zakat merupakan ibadah yang harus dikelola oleh Negara. Rasulullah saw dan para penganti sesudahnya melakukan hal yang sama, dengan dasar firman Allah saw;Ambilah zakat dari harta mereka” (QS Al-Taubah : 103).
Adanya Undang-undang Zakat yang baru harus dimaknai sebagai upaya untuk mengembalikan zakat pada tempatnya sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat agama Islam. Dengan demikian, keberadaannya tidak harus ditanggapi dengan prasangka-prasangka buruk, tetapi harus dikawal oleh semua pihak. Untuk mengawalinya, saya pikir di Indonesia saat ini paling tepat bila pengelolaan zakat dikelola secara kemitraan dengan semua pihak.
Merumuskan Sistem Kemitraan
Mengutip pendapat Sahri Muhammad (2012), kolaborasi antara masyarakat dan negara merupakan pandekatan jalan tengah yang menyakini bahwa negara memiliki otoritas untuk mengoptimalkan pengelolaan, sedangkan masyarakat dinilai sangat banyak tahu tentang apa yang menjadi harapan dan kebutuhan masyarakat, model ini disebut dengan Co.Managemen. Model ini sangat popular untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi ajang pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat miskin.
Co-Managemen dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi lima keadaan, yaitu (1) Peran pemerintah 100%. Ini dikenal dengan Co-Managemen instruktif. Semua gerak operasional lembaga sepenuhnya atas dasar instruksi pemerintah. Masyarakat tidak punya peran apapun. (2) Pemerintah 75%, sedangkan masyarakat berperan 25%. Ini dikenal dengan Co-Managemen konsultatif. Peran pemerintah dominan, dan setiap langkah operasional selalu menunggu restu pemerintah. (3)  Peran pemerintah 50%, sedangkan masyarakat berperan 50% (equal role). Ini dikenal dengan Co-Managemen coorporative. Model ini yang selanjutnya kita sebut model kemitraan yang sebenarnya, di mana peran pemerintah dan masyarakat sama kuat. (4)  Peran pemerintah 25%, sedangkan masyarakat berperan 75%. Ini dikenal dengan Co-Managemen advocative. Model ini semakin memberi peluang pada masyarakat untuk mandiri, di mana tetap bersandar pada otoritas pemerintah. (5)  Peran pemerintah sangat rendah, sedangkan masyarakat berperan hampir 100%. Ini selanjutnya dikenal sebagai Co-Managemen informative, di mana BAZNAS/LAZ berada pada kondisi mandiri.
Dengan dasar pengelompokan pendekatan Co-Managemen tersebut, maka operasionalisasi BAZNAS/LAZ sangat bergantung pada tingkat kemandirian para orang-orang yang terlibat dalam operasionalisasi pengelolaan zakat tersebut. Sesuai dengan arahan pada pasal-pasal dalam UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, anggota DPR nampaknya telah menetapkan dengan pendekatan Co-Managemen dalam pengelolan zakat nasional. Model Co-Managemen yang mana yang akan dipilih, dapat diproses dalam penetapan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri secara arif.
Bell dan Watkins (1996) yang menyebutkan bahwa Partnership atau kemitraan berada dalam ruang pembatasan 4 tipologi hubungan interorganisasi, yaitu: kompetisi, kooperasi, koordinasi, dan kolaborasi. Prinsip kerjasama yang ditawarkan Sahri Muhammad diatas lebih pada pendekatan kooperasi, tetapi saya lebih condong yang tepat adalah kerjasama kolaborasi. Menurut Jamal dan Getz (1995 dalam William, 2005) yang diperlukan dalam partnership adalah kolaborasi bukan kooperasi (kerjasama) dalam jangka pendek. Substansi kolaborasi dalam kemitraan (partnership) ini tidak sepenuhnya mudah dijelaskan batasannya. Kolaborasi sudah mencakup jejaring hubungan antara pemerintah, privat (perusahaan) dan NGO yang mempunyai perbedaan tipe kegiatan kolaborasi dengan kegiatan interorganisasional lain yang didorong oleh pasar dan mekanisme kontrol hirarki. (Lawrence et al, 2002; Powell, 1990; Imperial, 2005).
Dalam kaitanya dengan UU No 23/2011 ini, ide kemitraan antara BAZNAS dan LAZ  dan mungkin dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki peran yang sama adalah sebagai berikut: Pertama, pasal 8 tentang keanggotaan BAZNAS, disebutkan BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota; terdiri atas 8 (delapan) orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam dan unsur pemerintah ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat dan BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Kedua, sebaiknya unsur masyarakat benar-benar diisi oleh mereka yang berpengalaman, misalnya dari wakil LAZ yang sudah sukses mengelola zakat, selain akademisi dan tokoh masyarakat. Kemudian salahsatu dari dua pimpinan adalah wakil daril LAZ, sehingga keanggotaan BAZNAS benar-benar mencerminkan lembaga yang profesional dan di “restui” masyarakat. Jangan menggunakan politik akomodasi yang hanya untuk kepentingan stabiliasasi kelembagaan, yang paling penting dalam hal ini adalah profesional, tetapi salahsatu pertimbangannya adalah juga mengakomodasi berbagai kepentingan.
Ketiga, pembentukan unit Pengumpul Zakat (UPZ) sebagaimana diatur pada pasal 16, BAZNAS dapat melibatkan lembaga-lembaga amil yang sudah ada, yang tersebar sangat banyak mulai tingkat propinsi sampai tingkat desa termasuk diantaranya masjid-masjid. Sehingga akan terjadi revitalisasi fungsi amil zakat didaerah-daerah yang selama ini kurang berdaya.
Keempat, BAZNAS dan LAZ secara teknis dapat melakukan link manajemen dan informasi dengan LAZ. Jangan sampai dua lembaga ini justru terlibat kompetisi tidak sehat, tetapi terjadi kerjasama yang saling menguatkan. Harus dipahamkan bahwa BAZNAS/LAZ bukanlah lembaga bisnis yang berorientasi mencari keuntungan, tetapi lembaga sosial dan dakwah.
Kelima, LAZ yang sudah berdiri secara mandiri sebelum UU No 23/2011, sudah harus melakukan perencanaan strategis berkaitan dengan posisioning, apakah bersikap untuk menginduk dengan ormas tertentu ataukah justru membentuk ormas Islam sendiri. Kalaupun terpaksa harus menginduk dengan ormas tertentu maka lebih baik dijalin kerjasama kemitraaan yang jauh hari telah dikomunikasikan.

Optimalisasi Peran Masjid
Lembaga zakat yang selama ini menjadi rujukan masyarakat paling dominan adalah masjid. Besarnya jumlah kaum muslim menjadikan Indonesia merupakan negara dengan jumlah masjid terbanyak didunia. Menurut sumber Republika data masjid di Indonesia telah mencapai 800.000 masjid (Republika. 2010). Dengan demikian, potensi menyumbang berbentuk ZIS oleh masyarakat kepada masjid sangat besar. Hal ini diantaranya dibuktikan melalui penelitian Abidin (2006) yang menyebutkan 98% motivasi masyarakat menyumbang dikarenakan melaksanakan ajaran agama. Dari sini bisa dilihat betapa kedermawanan sosial masyarakat yang berbasis keagamaan mestinya diimbangi oleh berdirinya lembaga yang mempunyai legitimasi keagamaan seperti masjid, yang mampu melakukan pengelolaan zakat yang mempunyai fungsi sosial yang lebih luas. Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat luas seharusnya dimanfaatkan oleh masjid untuk mengelola ZIS secara profesional (Abidin. 2006).
Survei PIRAC (2007) di 11 kota besar di Indonesia menemukan bahwa masyarakat yang menyalurkan zakatnya ke BAZ dan LAZ hanya hanya 6% dan 1,2%. Sebagian besar 59% ternyata memilih menyalurkan zakatnya kepada masjid di sekitar rumah. Pemilihan masjid di sekitar rumah sebagai penyalur utama zakat ini mungkin lebih didasari oleh kepraktisan dan kedekatan lokasi. Pertimbangan lainnya adalah mengutamakan penyaluran zakat untuk masyarakat sekitar rumah muzakki (Abidin. 2007).
Masjid menjadi strategis dan ujung tombak dalam pengumpulan dan pengelolaan dan pendistribusian zakat, tetapi tidak diakomodasi dalam UU No.23/2011 ini. Sebagai tempat ibadah sekaligus lembaga keagamaan, posisi masjid masih sangat lebar untuk dilibatkan dalam kontek sebagai UPZ, tetapi harus diakui sebagian besar masjid mengelola zakat masih sangat tradisional, maka perlu pembinaan dan advokasi terhadap takmir sehingga standar pengeloaan sesuai dengan UU dapat terpenuhi, dan walhasil, kedepan, zakat secara secara nasional dapat mengalami perkembangan yang signifikan.

  • Telah dimuat dalam Harian Republika atas nama Amir Mu'allim, 13 April 2012 dan sebagai bahan diskusi pada acara saresehan FOZ DIY  2012 di UII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar