BERANDA

Kamis, 12 April 2012

SPEKULASI DALAM PASAR SAHAM

Oleh: M. Roem Syibly

Abstract
As modern finance institution, stock market has several weaknesses and unfair market model but in practice, the modern economic system recognizes it as part of economic development in a state. Speculation is one of the weaknesses, the investor has to know the changeable time and market trend, making analysis and calculation made market more active and dynamics. People in general take advantages from the speculation. If sharp calculation will get more advantages and if no will be loss principle of economic society. Islam has guidance in the case of speculation like what Islam give explanation about the issue. In the mudharabah and musyarakah system, people need capital to do their business by cooperation with capital holder. If sell and buy stock, so capital revolves among investors only and then real sector cannot develop due to lack of capital.
Keywords: spekulasi, pasar saham, dan investasi.

Pendahuluan
Pasar saham sangat penting dalam pembangunan ekonomi sebuah negara sebab merupakan wadah penyediaan modal kepada perusahaan untuk membesarkan aktivitas perdagangan. Saham adalah saluran ‘utama’ suatu perusahaan untuk mempromosikan usahanya kepada para investor dan pemilik modal. Memasukkan sebuah perusahaan dalam Bursa Saham memberi peluang lebih baik untuk mendapatkan modal yang lebih besar. Kepada masyarakat, di sinilah tempat untuk berinvestasi melalui pembelian sekuritas ataupun mendapatkan uang dengan menjualnya. Dengan ini pasar saham berfungsi sebagai tempat investasi kepada sebuah perusahaan yang dipilih dengan keyakinan diri atas prestasi perusahaan maupun tempat mencairkan pemilikan saham dengan menjualnya. Maka di sinilah pentingnya peranan investasi saham dalam pembangunan ekonomi modern sebuah negara dimana berjuta-juta uang telah diperjualbelikan setiap hari. Ada pakar ekonomi berkata tidak boleh ada sebuah ekonomi modern tanpa adanya bursa saham yang tersusun rapi.[1]
Namun, nilai saham di bursa bisa mengalami fluktuasi (turun dan naik). Secara teori, ketika kondisi nilai saham relatif stabil, maka akan banyak orang yang lebih memilih melakukan investasi di bursa ketimbang berspekulasi membeli dolar atau menyimpan uang di bank dengan mengharapkan bunga. Efek secara langsung yang terjadi, indeks saham perusahaan yang bersangkutan menguat di bursa, sehingga semakin banyak dana yang dikucurkan ke perusahaan. Hal ini membuka peluang untuk dilakukannya pengembangan perusahaan, seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi (secara kuantitas maupun kualitas) sekaligus meningkatnya jumlah angkatan kerja yang bisa tertampung. Berikutnya, kondisi ini akan menaikkan taraf hidup para pekerja.
Namun pada faktanya, keberadaan ambisi (secara pasti) dari para investor untuk memperoleh keuntungan dengan cepat (tanpa menunggu deviden) membuat keadaan dengan mudah berbalik. Ketika banyak orang melepas sahamnya ke bursa, indeks saham akan menurun. Ini berarti investasi menyusut (bahkan bisa sampai minus). Berikutnya, produksi juga berkurang sehingga tenaga kerja yang tertampung juga mesti dikurangi. Dengan kata lain terjadilah gelombang PHK, yang akan menurunkan taraf hidup para pekerja, yang sebagian besar merupakan bagian dari rakyat kecil.[2]

Akibat Spekulasi
Nampaknya perlu diingat kembali perjalanan pasar modal dunia untuk membuka sikap kritis kita terhadap salah satu lembaga keuangan tersebut. Dunia tidak akan pernah melupakan goncangan pasar modal Amerika “Oktober Hitam” pada tahun 1929 yang menyebabkan kolapsnya perekonomian dunia khususnya Amerika Serikat. Peristiwa yang dikenal sebagai  tersebut menyebabkan kemelaratan, kelaparan dan kesengsaraan.
Sejak 1929 hingga 1933 pasar modal AS kehilangan 85% nilainya. Kemudian goncangan pasar modal selanjutnya terjadi pada bulan Oktober tahun 1987. Pada saat itu indeks harga saham di Wall Street turun 22% dalam sehari. Di bulan yang sama pula tepatnya pada minggu terakhir Oktober 1997, hargaharga saham pasar modal utama dunia turun drastis. Penurunan harga saham tersebut berawal di Hongkong yang merambat ke Jepang, kemudian ke Eropa dan terakhir mampir di Amerika.[3]
Meskipun lembaga yang kita bicarakan tersebut bernama pasar modal (stock market), tidak berarti segala transaksi yang terjadi di bursa efek merupakan pertemuan antara orang yang membutuhkan modal dengan para investor yang ingin menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan yang diminatinya. Pertemuan antara pihak yang memerlukan modal dengan pihak yang memberikan modal hanya terjadi sekali di pasar perdana yakni pada saat IPO (Initial Public ). Selanjutnya para investor bebas memilih apakah memegang saham yang dibelinya sebagai suatu bentuk investasi jangka panjang atau menahannya sebentar untuk kemudian melepaskannya di pasar sekunder ketika ia melihat pergerakan harga saham menunjukkan adanya margin. Inilah tindakan umum yang secara terus menerus terjadi di pasar modal yakni keinginan untuk meraih capital gain dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat.
Samuelson dan Nordhaus mengungkapkan kegiatan spekulatif seperti ini dalam pasar modal muncul karena adanya harapan terpenuhi dengan sendirinya. Maksudnya jika seseorang membeli saham tertentu dengan harapan nilai saham akan naik, maka tindakan ini akan mendorong kenaikan harga-harga saham yang bersangkutan. Keadaan ini membuat orang semakin terdorong untuk membeli lagi dan hal ini menyebabkan kenaikan harga saham lagi.[4]
Hanya saja keuntungan seorang investor dalam bermain saham tidak mesti diperoleh melalui capital gain dengan menjual saham pada saat harga jualnya lebih tinggi dari harga yang dibeli sebelumnya. Bisa saja investor melalui para broker melakukan goreng menggoreng saham dengan tujuan menguasai saham perusahaan tertentu yang dibeli dengan harga murah jauh di bawah harga normalnya melalui rekayasa transaksi ataupun dengan melemparkan isu-isu yang berdampak negatif terhadap perusahaan tertentu sehingga harga sahamnya jatuh. Ketika harga saham jatuh maka terjadi kepanikan di kalangan investor lain khususnya yang lebih awam, sehingga mereka melepaskan saham yang mereka pegang ke pasar agar kerugian yang lebih besar dapat dihindari.
Di balik kegiatan spekulatif tersebut pasar sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyangkut kinerja perusahaan yang bersangkutan yang meliputi berapa deviden yang dibagi kepada para pemegang saham, prospek usaha dan keuntungan yang akan diraih perusahaan, termasuk kinerja buruk perusahaan tersebut. Contoh faktual adalah terbongkarnya skandal keuanganWorldCom yang dalam laporan keuangannya dilaporkan untung sebesar US $ 3,8 milyar padahal angka tersebut merupakan jumlah kerugian yang diderita perusahaan. Sentimen negatif seperti ini akan mendorong para investor melepaskan saham sehingga harga saham jatuh. Sementara faktor eksternal meliputi kebijakan pemerintah, kondisi makro ekonomi nasional, tingkat suku bunga perbankan, kondisi perekonomian internasional dan perkembangan bursa saham dunia.
Jadi setiap orang, badan usaha dan pemerintah dalam perekonomian Kapitalis ini pada umumnya menginginkan terus meningkatnya harga-harga saham yang dicerminkan oleh peningkatan indeks harga saham agar keuntungan demi keuntungan dapat diraih. Sementara para pelaku pasar dengan moral hazartnya melakukan rekayasa apapun untuk mendapatkan keuntungan yang tentu saja merugikan pihak lain. Inilah gambaran ekonomi angan-angan yang terjadi dalam lembaga ekonomi Kapitalis tersebut. Sebagaimana yang dikatakan ilmuwan Isaac Newton (sebagai korban angan-angan keuntungan transaksi saham) yang dikutip Alan Woods dan Ted Grant: “Saya bisa menghitung gerakan benda-benda di langit, namun saya tidak mampu memperhitungkan kegilaan orang-orang.”[5]

Perspektif Islam
1.      Praktek di lapangan
Dalam ajaran Islam, aturan pasar modal harus dibuat sedemikian rupa untuk menjadikan tindakan spekulasi sebagai sebuah bisnis yang tidak menarik. Untuk itu, prosedur pembelian/penjualan saham secara langsung tidak diperkenankan. Prosedurnya, setiap perusahaan yang memiliki kuota saham tertentu memberikan otoritas kepada agen di lantai bursa, untuk membuat deal atas sahamnya. Tugas agen ini adalah mempertemukan perusahaan tersebut dengan calon investor, dan bukan membeli atau menjualnya secara langsung.
Saham-saham  tersebut dijual ataupun dibeli jika memang tersedia. Jika banyak pihak yang menginginkan saham tertentu, maka mereka terlebih dahulu harus terdaftar sebagai applicant, dan saham tersebut kemudian dijual/dibeli dengan prinsip  (siapa datang dulu dia dilayani).
Saat ini, harga saham ditentukan oleh kekuatan supply dan demand. Sedangkan dalam aturan Islam, penentuan harga saham berbeda dengan penentuan harga seperti yang terjadi pada saat ini. Jika kita melihat balance sheet dari joint stock company, maka terlihat bahwa aset sama dengan modal saham ditambah dengan kewajiban. Aset tersebut merupakan representasi dari modal, dimana kewajiban diasumsikan sama dengan nol.
Sehingga, sertifikat sahamnya memiliki nilai tertentu, dimana nilainya akan sama dengan nilai asetnya. Setiap harga saham yang di atas atau di bawah nilai asetnya, tidak menunjukkan kondisi sesungguhnya. Tetapi kekuatan pasar mampu membuat harga saham tersebut berada di atas/di bawah nilai asetnya. Dalam pandangan Islam, untuk mencegah terjadinya distorsi ini, harga saham harus sesuai dengan nilai intrinsiknya.
Adapun formula perhitungannya adalah: harga saham sama dengan modal saham + keuntungan - kerugian + akumulasi keuntungan - akumulasi kerugian, yang kesemuanya dibagi dengan jumlah saham.[6]
Formula ini memberikan nilai sebenarnya dari sertifikat saham dan akan lebih menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk membeli atau menjual pada berbagai level harga kecuali berdasarkan regulasi harga yang telah ditetapkan.
Selain itu, membeli ataupun menjual saham bukanlah pekerjaan mudah, dan banyak menimbulkan ketidakpastian. Para spekulan tidak akan gegabah di dalam membeli saham sebelum tanggal balance sheet. Hal ini akan mereduksi aktivitas spekulasi.
Prinsip dasar lainnya adalah penelitian account books secara cermat. Praktek standar manajemen bisnis dan akunting harus diterapkan pada semua perusahaan yang telah memiliki kuota saham tertentu. Kemudian, perlu ada proses audit dan investigasi secara mendadak untuk meneliti kebenaran dari balance sheet suatu perusahaan.
Selain itu, tiap perusahaan harus diminta untuk mengumumkan posisi keuangannya setiap tiga bulan sekali, sehingga publik akan tahu berapa sesungguhnya nilai intrinsik dari sahamnya minimal 4 kali dalam setahun.
Tentu saja tanggal penutupan suatu perusahaan akan berbeda dengan perusahaan lainnya, sehingga tanggal pengumuman posisi keuangannya pun akan berbeda-beda. Dengan demikian, hampir setiap minggu sepanjang tahun, akan ada penutupan dan pengumuman posisi keuangan, dan hal ini akan tetap membuat pasar aktif sepanjang tahun. Prinsip dasar ini juga melarang perusahaan untuk menjual saham mereka sendiri. Perusahaan selanjutnya dilarang untuk menjual sahamnya sendiri di pasar tanpa ada izin dari pencatat/pendaftar Join Stock Company.[7]
2.      Segi Hukum
Di antara yang dilarang oleh oleh syari’ah adalah transaksi yang di dalamnya terdapat unsur spekulasi dan mengandung gharar atau ketidakjelasan yaitu transaksi yang didalamnya dimungkinkan terjadinya penipuan (khida’), karena itu gharar termasuk pengertian memakan harta orang lain dengan cara bathil atau tidak sah.[8] Termasuk dalam pengertian ini melakukan penawaran palsu (najsy), karena itu Rasulullah melarang transaksi yang dilakukan melalui penawaran palsu.[9]
Demikian juga dengan transaksi atas barang yang belum dimiliki (short selling), menjual sesuatu yang belum jelas, dan menyebarkan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang.
Dengan adanya berbagai ketentuan dan pandangan syariah seperti di atas, maka investasi tidak dapat dilakukan terhadap semua produk pasar saham karena di antara produk pasar saham itu ada yang bertentangan dengan syariah. Oleh karena itu, investasi di pasar saham harus dilakukan dengan selektif dan dengan hati-hati supaya tidak masuk kepada produk non syariah.[10]
Saat ini sudah masuk beberapa perusahaan berbasis syariah yang ikut meramaikan bursa saham di Indonesia dan beberapa tempat di bursa internasional, ini menandakan bahwa model bursa saham berbasis syariah telah diterima secara internasional dan bahkan beberapa perusahaan telah masuk kategori sehat dan diperingakat atas.
Penutup
Sebagai muslim, tentunya akan lebih tenang jika memiliki usaha yang selain menguntungkan secara materi, juga tidak melanggar aturan agama (syariah) Islam. Aktivitas perdagangan dan usaha yang sesuai dengan syariah Islam adalah kegiatan usaha yang tidak berkaitan dengan produk atau jasa yang haram seperti makanan haram, perjudian atau maksiat. Selain itu juga menghindari cara perdagangan dan usaha yang dilarang, termasuk yang tergolong praktik riba, gharar dan maysir.
Ada yang berpendapat bahwa terjun kepasar saham itu tergantung niat. Jika niatnya membeli saham untuk investasi, maka jual-beli saham di pasar sekunder halal. Jika spekulasi, maka haram. Jika niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya langsung kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di pasar perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham yang menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder,  itu sama saja dengan spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik uang seperti yang disebut di atas. Niat seperti itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, sama saja dengan bersedekah pada orang berduit yang kemudian memakainya untuk berjudi atau bermaksiat. Jika dia sudah mengetahui hal itu tapi tetap melaksanakannya, sungguh dia telah tolongmenolong dalam kemaksiatan.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.e-syariah.net/artikel.asp?id=174, diakses pada 20 Mei 2005.
http://www.msi-uii.net, diakses pada 21 Mei 2005
http://www.msi-uii.net, diakses pada 21 Mei 2005
http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/1204/19/ hikmah/ manajemen.htm.diakses pada 20 Mei 2005.
http://www.ukhuwah.or.id/dr/?q=node/30, diakses pada 25 Juli 2007
Kaslani, Muhammad bin Ismail (tt). Subulussalam. Jilid 3. Bandung: Dahlan
Khan, Muhammad Akram (1983). Issues in Islamic Economics. Lahore, Islamiv Publications Ltd.
Nazir, Habib dan Muhammad Hassanuddin (2004). Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah.  Bandung: Kakilangit.
Salamon, Hussin (2000). “Speculation in the Stock Market from an Islamic Perspective” in Review of Islamic Economics, No. 9, International Association for Islamic economics, Leicester, U.K.
Samuelson, Paul A. dan William P. Nordhaus (1997). Makroekonomi, Edisi Keempatbelas. Haris Munandar dkk (terj) Makroekonomi, edisi iv. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sumber Artikel:
Jurnal Ekonomi Islam La_Riba, Vol. 1 No. 1, Juli 2007.  Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

GOOD GOVERNANCE, GENDER MAINSTREAMING, AND RELIGION

By: M. Roem Syibly[1]

Abstract
From Good Governance perspective, Indonesia has given positive contribution toward gender issues. Legally, Indonesia has fulfilled all conditions as state with good governance, but unfortunately, at the field showed that such ordinances issued were ineffective. PSI-UII’s research report has found the correlation between violence against women and religious understanding. In the field finding will give inputs to all people who concern with the issue. Several Muslim scholars already had given us some solution with interpretation toward al-Quran and Hadits, which support gender justice and equality. Government and all organization involved, have to support law and its instrument can be applied well.

Keywords: governance, gender, religious interpretation.  

A. Introduction
In spite of the frequent mention of the term “Good Governance” (Ind.: tata kelola yang baik) is made, it may imply various meanings. In general, it means “pengelolaan pemerintah yang baik” (good governance of government). The term “baik” (good) here means “following the regulated rules as set out in the principles of good governance.”In this article, I prefer to follow UNDP’s concept of good governance which is defined as the use of economic, politic, and administrative policies to manage governmental matters at all levels. Government administration includes all mechanisms, processes and institutions, through which citizens and mass groups express their interests, enjoy their legal rights, observe their duties and fill their gaps. 
Good government administration bears the following characteristics:
  1. Involving all related components;
  2. Transparent and responsible;
  3. Effective and just;
  4. Guaranteeing law supremacy;
  5. Guaranteeing that political, social and economic priorities based on mass consensus;
  6. Paying attention to the interest of the poor in policy making processes concerning the allocation of development fund resources.
In this article, I will focus on the gender positioning in ideal governance. This is due to the fact that so far the gender positioning has been marginalized. The questions to be answered here are: have the existing governance accommodated gender perspective? Is there already justice for gender? Have women’s interests been accommodated in policy making process? This article seeks to describe how gender can be placed and empowered in development and how religion can contribute to it. 
As reported by Komnas Perempuan (National Committee for Women) 2003, the number of domestic violence increased 45% compared to that before. As many 14,020 of 20,291 cases were dealt with in 215 institutions in 29 provinces, including Special Province of Yogyakarta. Data by Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (National Committee of Anti-Violence against Women) shows that in 2003 there had been 5,934 cases concerning violence against women. From 2,703 cases of KDRT (domestic violence) 75% of them were wives. Even in 2005, the number of cases was 16,000.
Appeals, statements and planned actions had been made to enhance the social condition life. Majelis Ulama Indonesia, on all forms of publication and broadcasting, displaying pictures, visual, program and news on pornography in the mass media, either electronic or printed, as that of fatwa of the Central Board of Nahdlatul Ulama, has also issued a fatwa on infotainment prohibition.

B. Development and Gender Empowerment
From the historical perspective, gender participation and empowerment has emerged since about 1908, when the national awakening movement was going on. At the time, Indonesian women took an important part, even in a limited scope. In the declaration of “Sumpah Pemuda” in 1928 was stated “Pemuda dan Pemudi Indonesia” (Indonesian men and women youth). On 22 December 1928, Women Congress I was held as the manifestation of women participation in independence movement. The moment is annually commemorated as the “Day of Mother” (Hari Ibu). Cut Nya’ Dien, Keumalahayati, Martha Tiahahoe, and Yolanda Maramis were among Indonesian women who took a part in independence struggles. Since 1978, the special ministry for women has been established, previously Youth Ministry of Women Participation and currently Ministry of Women Empowerment. 
International record on gender development and empowerment can be found in the Declaration of Human Rights, the United Nations (UN) in 1948. The declaration inspired the rise of feminist movements in the struggle for women rights. It was stated that “all human beings are born free and equal in dignity and rights”. In 1952, the UN adopted women political and economic rights. In 1963, global emancipation movement became the agenda of the UN (Ecosoc). The Commission on the Status of Women 1967 inspired the emergence of PKK (Pembina Keluarga Sejahtera, Guide of Family Welfare). In a conference in Mexico in 1975, WID (Women in Development) was set up as a strategy to develop the role of women. A conference in Nairobi in 1985 made a agreement on the establishment of UNIFEM, the UN organization for women) with the programme of WAD (Women and Development). In 1979, CEDAW-UN was held and Indonesia ratified. 
A meeting in Vienna in 1990 agreed on the programme of GAD (Gender and development). Indonesia ratified GAD through Presidential Decree No. 36 Year 1990 with gender mainstreaming strategy. ICPD Conference, Cairo, 1994, set an agenda of protecting reproduction rights of women in a sustainable development. In 1995, Beijing Conference was held. 
CEDAW, BPFA, and MDG’s (Millenium Development Goals) are a number of international policies to reduce discrimination against women. CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), was signed by the government on 29 July 1980 and ratified into UU RI No.7 Year 84 about the legislation of CEDAW. It much focused on the way to overcome discriminations against women. BDFA (Beijing Declaration and Platform for Action) was held on the basis of the recommendation of the World Conference on Women IV, 4-15 September 1995. It was more concerned with the strategy to cope with 12 critical regions in the framework of the empowerment of women in the UN members. MDG’s, declared on 10 September 2000, was focused on the role of women in 2015. 
Based on three programmes above, Indonesia has produced a number of regulations to regulate and give legal certainty to gender development and empowerment. They are:
1.      UU (Act) No.18 Year 1956 about Women Political Rights Convention; 
2.      UU No. 1 Year 1974 about Marriage, and PP (Regulation) No. 9 Year 1975 about the Implementation of UU No 1 Year1974;
3.      UU No. 23 Year 2002 about Children Protection;
4.      UU No. 23 Year 2004 about Eradication of Domestic Violence;
5.      UU No. 25 Year 2004 about Planning System of National Development;
6.      PP No. 4 Year 2006 about the Organizing and Cooperation for Recovery of Victims of Domestic Violence;
7.      Keppres (Presidential Decree) No. 59 Year 2002 about National Action Plan for Eradication of Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak;
8.      Keppres No. 87 Year 2002 about National Action Plan for Eradication of Children’s Commercial Sexual  Exploitation;
9.      Keppres No. 88 Year 2002 about Planning for National Action of Eradication of Women and Children Trafficking;
10.  Keppres No. 77 Year 2003 about Indonesian Committee for Children Protection;
11.  Keppres No. 40 Year 2004 about Planning for National Action of Human Rights Indonesia 2004-2009;
12.  Keppres No. 52 Year 2004 about National Committee for Lanjut Usia;
13.  Keppres No. 106 Year 2004 about Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia;
14.  Inpres No. 9 Year 2000 about Gender Mainstreaming in National Development;
15.  Joint Decree of State Minister of Women Empowerment, Minister of Internal  Affairs, and Minister of National Education No. 17/Men.PP/Dep.II/VII/2005, No. 28A TAHUN 2005, No. 1/PB/2005 about Acceleration of the Eradication of Women’s Illiteracy;
16.  Decree of Minister of Internal Affairs No. 132 Year 2003 about General Guide of the Implementation of Gender Mainstreaming;
17.  Standard for Minimum Service of Women Empowerment in Regions (Based on SK Meneg PP No. 23/SK/MENEG/PP/21.

A number of regulations become basis for gender empowerment and development. They are: District Government (UU No. 32 Year 2004 about District Government in place of UU No 22 Year 1999; UU No 34 Year 2004 about Financial Balance between Central Government and District Government in place of UU 25 Year 1999; and PP No. 25 Year 2000 about Governmental Authority and the Authority of Province as Autonomic Region.
In “Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia,” Jakarta, 28-31 August 2006, were set up agendas of education, politic, sexuality, natural resources, law, fundamentalism, globalisation, poverty, technology, media, culture and disaster. In addition, gender issues in the context of regional autonomy came to the fore as well.
The above description shows that attempts to cope with violence against women in both national and international levels have been made. However, in general the result is still beyond the hope. NGOs concerned with this issue also have given consultation and information to society, but the number of violence against women seems not to decrease.
A number of regulations newly produced even are contra-productive. For instance is regulation on discrimination. In 2006 Komnas Perempuan reported that 26 new regulations produced in 16 regions (including provinces, regents, and villages) tend to be discriminative against women. These regulations include Perda (Regional Regulation), Surat Edaran, Surat Keputusan (Policy Letter) of bupati, and so forth.
Material testing mechanism through Mahkamah Agung (Supreme Court) did not totally eliminate discrimination against women as stated in UU No. 7/1984. This contradicts article 2 of CEDAW Convention which states that country members must make sure the implementation of regulations to protect women from discrimination. This article also emphasizes that they must guarantee equality before the law for women. 

C. Religious Relation, Gender, and Development
Religion is often considered one of the crucial factors which engendered injustice and inequality towards women.15 14 Responses of religious communities to violence, insult, and discrimination against women stimulated the rise of religious feminist movements.16 These movements provoked controversies since they based their ideas on the awareness of women oppression.
It has become altruism that religious doctrine is always just and pays high respect to gender equality. However, its interpretation is often distorted by patriarchal tendencies among Muslim societies.1718 there is always a gap and even clash between text and context, theory and practice. It is therefore necessary to explicate the interrelation of religion and gender in development. Development and gender empowerment are rooted in religious and cultural 2019 values. Every religion has its own concept of human and especially women. From the concept, we should understand the relation of gender and religious values, and reinterpret the essence of the creation of women.
A research by Pusat Studi Islam (Centre for Islamic Studies) UII, in cooperation with CORDAID, has proved that mass people have frequently justified violence against women in the name of religion. The research reported that for them having sons is better (than having daughter). Although some people condemn polygamy, unofficial practices of polygamy are commonly considered being religiously legal. Thus, most people tend to opposite gender equality, and therefore, they do injustice to women. 
Family and marriage relation should create cooperation between husbands, wives, and other members of family. This is in contrast to the opinion that women are always the victims of marriage institution and family. This opinion emerges from religious misinterpretation. Therefore, there should be an attempt to contextualize religious texts.  Gender studies of religions emphasize gender justice and equality as counter critic against those who justified injustice and inequality of women. Gender biased understanding and interpretation are the result of patriarchal social system. In this system, religious interpretations often play a decisive role in enduring the oppression of women. Such interpretations tend to claim to be the most authoritative since they use religious texts as their basis. As a result, different interpretations can easily be seen as subversion.
Alternative exegetical enterprises have been offered by a number of Muslim scholars such as Qasim Amin, Riffat Hassan, and the like. Qasim Amin maintains that oppression against women does not emerge from the Quran and the hadith. Conversely, it is because the position of women is often seen as a threat to men’s position. From historical and comparative analysis, Amin concludes that the oppression of women is in contradiction to Islam. Similarly, Riffat Hasan formulates her conception of women’s position from Islamic monotheism. She said that “truly monotheistic beliefs such as Islam will never let human worship except God. Thus, over-submission of women to their husbands is irrational.” 

D. Conclusion
The government has made legal-formal attempts concerning gender equality. However, the attempts lack in law enforcement. On the other hands, NGOs’ attempts at giving counselling were not accompanied with knowledge of the roots of the problems. The findings of the research by PSI-UII clearly show that distorted religious understandings have played a significant role in this matter so that violence against women is often supported by religious interpretations.
What should be done in this regard is to create religious interpretations which provide Muslims with the way out of violence against women and a fair gender conception. This can be materialised by involving relevant institutions such as Kantor Urusan Agama (KUA), Pengadilan Agama (religious court), Pengadilan Negeri (State court) and others, as well as religious leaders and Muslim societies. By doing so, the institutions can contribute significantly to the creation of good governance.

BIBLIOGRAPHY  
  • Qasim Amin (1984), Al-Mar’ah al-Jadidah, Cairo: al-Markaz al-Arabiyah.
  • Asma Barlas (2005), Cara Quran Membebaskan Perempuan, translated by R. Cecep Lukman. Jakarta: Serambi.
  • Basisdata dan laporan pelaksanaan BPFA (2007), on http://www.aworc.org/ (accessed on 24 January).
  • Basisdata dan laporan pelaksanaan CEDAW (2007) on http://www.un.org (accessed on 26 January).
  • Basisdata dan laporan pelaksanaan MDGs (2007), on http://www.un.org and on www.developmentgoals.org. (accessed on 24 January). 
  • Beberapa Pemikiran Tentang Good Governance, on http://www.goodgovernancebappenas.go.id/ (accessed on 26 July 2007).
  • Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, Komnas Perempuan, 8 March 2006, on http://www.komnasperempuan.or.id/ (accessed on 22 September 2006). 
  • Dzuhayatin, Siti Ruhaini (2002), Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di Indonesia, in Ema Marhumah and Lathiful Khuluq (eds.). “Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam,” Yogyakarta: Kerjasama PSW IAIN Sunan Kalijaga, Mcgill-ICIHEP and Pustaka Pelajar.
  • Fakih, M. (1995), Menggeser Konsep Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:  Pustaka Pelajar. 
  • Florenza, Elisabeth Schussler (1988), In Memory of Her (A Feminist Theological Reconstruction of Christian Origins, London: SCM Press Ltd.
  • Riffat Hasan (1990), An Islamic Perspective, Women, Religion and Sexuality. Ed. Jeanne Becher. Philadelphia: Trinity Press International.
  • King, Ursula (1986), Female Identity and The History of Religions, dalam Victor C. Hayes (ed.). “Identity Issues and World Religions.” Netley S.A: wakefield Press. 
  • mailing-list “sastra pembebasan” <sastra-pembebasan@yahoogroups.com> [indomarxist] Rusiyati [Dokumen Tercecer]: “Sepintas Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah,” (1-5), Thu, 21 Sep 2006 07:31:46 -0700 (PDT); Fri, 22 Sep 2006 03:54:52 -0700 (PDT); Sat, 23 Sep 2006 15:10:49 0700 (PDT); Sun, 24 Sep 2006 16:49:05 -0700 (PDT); Mon, 25 Sep 2006 14:44:29 -0700 (PDT). 
  • Makruf, Sakdiyah. Bukan Semata-mata Tuntutan Perempuan, on http://islamlib.com/, accessed on 16 October 2006. 
  • Manifesto Temu Nasional Aktivis Perempuan Se-Indonesia, 5 September 2006, on http://www.prakarsa-rakyat.org, (accessed on 22 September 2006)
  • Melani (2006), “Kartini Melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, in Pikiran Rakyat, 4 February 2006.
  • “Membangun Otonomi Daerah bagi Semua,” in Kompas, Monday, 16 October 2006.
  • “MUI Dukung Polri Berantas Pornografi,” in Kompas, Tuesday, 26 March 2002.  “MUI Kecam Pornografi di Media Massa,” in Kompas, Tuesday, 19 February 2002.
  • Najib, Mohammad, (2006) “Fatwa Haram Infotainment,” in Kedaulatan Rakyat, 26 August 2006.  Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia, Edition II No.3 July-September 2005, Pengertian Good Governance, on http://www.transparansi.or.id/ (accessed on 29 July 2007)
  • Pernyataan Pers, Laporan Independen Komnas Perempuan ke Komite CEDAW on 19 July 2007, Mempersoalkan Tanggung Jawab Negara atas Munculnya Kebijakan-kebijakan Diskriminatif bagi Perempuan, on http://www.komnasperempuan. or.id/ accessed on 29 July 2007.
  • PSI-UII (2007), Laporan Penelitian dalam program “Sikap Kesetaraan Gender di dalam Keluarga Lintas Agama di DIY”.
  • Rakhmat, Ioanes. Ciri-Ciri Fundamentalisme Kristen Dewasa Ini, in http://www.sttjakarta.ac.id/ (accessed on 22 September 2006). 
  • “Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan” in Buletin Partnership for Governance Reform in Indonesia Volume IV June 12, 2000, 
  • Telaah terhadap feminisme merujuk pada “Feminisme,” on http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme. (accessed on 16 October 2006).
  • Zuhairi Misrawi, “NU, ’Infotainment,’ dan Sikap Moderat” in Kompas, Saturday, 12 August 2006. 
  • Wasim, Alef Theria (1995), “Sosialisasi Wawasan Gender dan Pembangunan”, in AlJami’ah Jurnal Ilmu Pengetahuan Agama Islam No. 58 1995.
  • Wirodono, Sunardian (2006), “Fatwa Haram Infotainment, Halalkah?” in Kedaulatan Rakyat, 22 August 2006.

Sumber: Jurnal Millah Pascasarjana FIAI UII


[1] Researcher at Pusat Studi Islam (PSI) UII, and member of the researchers team within the programme of Sikap Kesetaraan Gender dalam Keluarga Lintas Agama (Attitude towards Gender Equality in Inter-religious Families, in the framework of cooperation between PSI and CORDAID 2006-2007.