BERANDA

Kamis, 29 September 2011

POTRET KEMISKINAN ADA DI SEKITAR MASJID


Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta jiwa.  Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih besar daripada daerah perdesaan. Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009, sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23 persen. (BPS.2010)
Dengan membandingkan kenaikan gaji buruh, besar inflasi, dan garis kemiskinan BPS dibanding dengan garis kemiskinan Bank Dunia dan juga negara-negara tetangga, ternyata jumlah kemiskinan di Indonesia sebenarnya bertambah. Namun karena BPS memperkecil garis kemiskinan hingga cuma US$ 0,75/hari/orang, maka terkesan jumlah rakyat Indonesia yang miskin hanya kecil. (Kompasiana.2011)
Diakui secara jamak, kemiskinan adalah persoalan nyata masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Masalah kemiskinan memang bukan kondisi yang diinginkan masyarakat kota maupun desa. Namun, jeratan kemiskinan saat ini senantiasa mengintai sepanjang hari sehingga setiap tahun angka kemiskinan terus meningkat dan merupakan lingkaran setan yang mengerikan. (Qodir. 2007)
Islam diyakini sebagai agama yang tidak semata ritualitas tetapi juga agama yang sangat konsen masalah-masalah sosial di masyarakat, masalah kemiskinan salah satu contohnya. Islam memiliki konsep jitu dalam menyelesaikan masalah kemiskinan ini, yaitu mewajibkan zakat kepada mereka yang kaya dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk disalurkan kepada mereka yang kurang beruntung.
Zakat menurut para ahli fiqih ialah hak tertentu yang diwajibkan oleh Allah swt terhadap harta kaum muslimim yang diperuntukkan bagi mereka yang dalam al-Qur’an disebut kalangan fakir miskin dan mustahik lainnya sebagai tanda syukur atas nikmat Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, serta untuk membersihkan diri dan hartanya. (Qardawi. 2007: 999)  Zakat merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi Islam, karena zakat merupakan salah satu implementasi azas keadilan dalam sistem ekonomi Islam. (Manan. 1993) Sedangkan tujuan utama dari zakat adalah zakat adalah untuk mencapai keadilan sosial ekonomi.
Dengan demikian zakat menjadi instrumen solutif penting dalam upaya menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebagai rukun Islam yang ketiga, zakat berfungsi sebagai distributor aliran kekayaan dari tangan the have kepada the have not. Ia merupakan institusi resmi yang diarahkan untuk menciptakan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat, sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat ditingkatkan. (Hafidhuddin, 2006) dengan kata lain zakat merupakan transfer sederhana dari bagian dengan ukuran tertentu harta si kaya untuk dialokasikan kepada si miskin  (Kahf,1999). 
Al-Quran surat al-Taubah 60 menjelaskan tentang distribusi shadaqah[1] kepada delapan kelompok. Delapan kelompok ini, bila dikategorisasikan, merupakan kelompok masyarakat yang lemah atau tidak mampu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun non-material. Karenanya, tujuan utama filantropi Islam tidak semata-mata melaksanakan kewajiban kebaikan dengan memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada orang-orang miskin tetapi juga bertujuan untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan yang dimaksud adalah menghilangkan kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan miskin sebagai cara untuk mewujudkan keadilan sosial. Masalah gap antar kelas sosial menjadi perhatian utama Islam karena ketimpangan distribusi materi sebagai penyebab ketidakadilan di masayarakat. Dengan kata lain, Islam sangat menentang ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber materi. (Hasan dan Carkoglu. 2009: 35-36)
Sebuah studi yang dilakukan oleh Ford Foundation di beberapa Negara mayoritas Muslim pada tahun 2004 seperti di Mesir, Turki dan Indonesia, tingkat pembayaran zakat yang dilakukan setiap Muslim bervariasi dengan menempatkan Indonesia dalam skala persentase kesadaran penduduknya sebagai pembayar yang tertinggi di antara tiga negara muslim, yaitu 61%, sementara Mesir dan Turki hanya 43 dan 40 persen. Ini artinya secara potensi, tingkat kesadaran masyarakat Indonesia dalam membayar zakat cukup tinggi. Survey yang dilakukan pada 6000 penduduk Muslim di beberapa Negara, mayoritas umat Islam Mesir, Malaysia dan Indonesia sekitar 80-90 persen membayarkan zakatnya, sementara di Kazakhstan, Pakistan dan Turkey berkisar antara 50-60 persen. Yang perlu dicatat di sini adalah, Pakistan yang disebut sebagai Negara Islam, tingkat pembayaran zakatnya lebih rendah dari Indonesia dan Malaysia. Ini artinya, status Negara yang berdasar pada keislaman tidak berhubungan erat dengan tingkat amaliah umatnya. (Abidin Dkk. 2009: 19-20)
Teori zakat sebagai transfer harta dari sikaya kepada simiskin telah banyak menemukan faktanya dalam sejarah Islam. Demikian juga di Indonesia, seperti halnya temuan Indonesia Magnificence of Zakat (IMZ) mengungkap melalui rilis survei ilmiahnya tentang pembangunan sosial dan perzakatan bertajuk Indonesia Zakat and Development Report (IZDR) 2011. Survei tersebut telah membuktikan bahwa zakat memberi andil mengurangi kemiskinan dhuafa penerima zakat hingga 10,79 persen. Yang dicermati dalam survei ini ada tiga hal, yakni implikasi zakat terhadap pengurangan jumlah kemiskinan mustahik, dampak pengelolaan zakat terhadap penurunan tingkat kedalaman kemiskinan, serta dampak zakat terhadap pengurangan tingkat keparahan kemiskinan.
Menurut kajian Azyumardi Azra, potensi penghimpunan dan distribusi ZIS di Indonesia sangat besar. Dalam sepuluh tahun terakhir, menunjukkan peningkatan jumlah dana yang terkumpul. Ia mengutip beberapa kajian yang menyebutkan kenaikan rata-ratanya sebesar 38,79 persen per tahun. Bahkan, pada medio 2009, diperkirakan terkumpul dana zakat sebesar Rp 1,2 triliun. Namun, ia menuturkan, jumlah itu masih jauh dari potensi zakat yang diperkirakan mencapai Rp 27,2 triliun. Dengan kenyataan ini, banyak yang berharap zakat sepenuhnya dapat mengentaskan kemiskinan. (Wulandari dan Nasrullah. 20011)
Walaupun dana zakat yang terkumpul meningkat dari tahun ketahun namun realisasinya masih kurang dari 0,05% dari potensi yang ada (PDRB). Di sisi lain, program pendayagunaan dana zakat untuk tujuan pemberdayaan ekonomi produktif belum menjadi prioritas utama, sehingga tujuan dan maksud dari pelaksanaan zakat sebagai upaya mengurangi kemiskinan ekonomi fakir miskin belum sesuai dengan apa yang di harapkan. Dengan kata lain, perubahan status dari penerima zakat (mustahik) fakir miskin menjadi pembayar zakat (muzakki) masih jauh dari realitasnya. (Firmansyah Dkk. 2008)
Pertanyaan besar yang muncul kemudian adalah mengapa potensi yang begitu besar tidak dapat dikelola dengan baik, dari 27.2 nilai potensialnya  mengapa hanya 1.2 triyun saja yang mampu dikelola? Dan mengapa zakat hanya mampu menanggulangi kemiskinan 10.79% saja? Ini berarti ada persoalan mendasar sehingga fungsi zakat belum berjalan sesuai yang diharapkan.
Lembaga zakat yang selama ini menjadi rujukan masyarakat paling dominan adalah masjid. Besarnya jumlah kaum muslim menjadikan Indonesia merupakan negara dengan jumlah masjid terbanyak didunia. Menurut sumber Republika data masjid di Indonesia telah mencapai 800.000 Masjid. (Republika. 2010) Dengan demikian, potensi menyumbang berbentuk ZIS oleh masyarakat kepada masjid sangat besar. Hal ini diantaranya dibuktikan melalui penelitian yang telah dia lakukan menyebutkan 98% motivasi masyarakat menyumbang dikarenakan melaksanakan ajaran agama. Dari sini bisa dilihat betapa kedermawanan sosial masyarakat yang berbasis keagamaan mestinya diimbangi oleh berdirinya lembaga yang mempunyai legitimasi keagamaan seperti masjid, yang mampu melakukan pengelolaan zakat yang mempunyai fungsi sosial yang lebih luas. Kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat luas seharusnya dimanfaatkan oleh masjid untuk mengelola ZIS secara profesional. (Abidin. 2006)
Hasil Survei PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) mengenai “Potensi dan Perilaku Masyarakat dalam Berzakat” pada akhir 2007 lalu. Survey rutin yang melibatkan 2000 responden ini dilakukan setiap tiga tahun untuk mengetahui potensi dan perubahan perilaku masyarakat dalam berzakat. Survei dilakukan di 11 kota besar, yakni Medan, Padang, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Balikpapan, Makassar, dan Manado. Menemukan bahwa meski dikenal sebagai lembaga yang gencar melakukan sosialisasi zakat, BAZ dan LAZ nampaknya belum menjadi organisasi yang banyak dipilih masyarakat dalam menyalurkan zakatnya. Survei 2007 menunjukkan bahwa responden yang menyalurkan zakatnya ke BAZ dan LAZ hanya hanya 6% dan 1,2%. Sebagian besar responden (59%) ternyata memilih menyalurkan zakatnya kepada mesjid di sekitar rumah. Pemilihan mesjid di sekitar rumah sebagai penyalur utama zakat ini mungkin lebih didasari oleh kepraktisan dan kedekatan lokasi. Pertimbangan lainnya adalah mengutamakan penyaluran zakat untuk masyarakat sekitar rumah muzakki.(Abidin. 2007)
Tetapi sangat disayangkan, dimana ada masjid, disitulah potret kemiskinan terlihat dengan nyata. Misalnya saja, di Masjid Istiqlal, majid yang konon merupakan masjid kebanggaan, tetapi di dalam dan disekitar masjid bertaburan pengemis. (Misrawi Dkk. 2007: 300)





M. Roem Syibly dan Amir Mu'allim
Pusat Studi Hukum Islam
Pascasarjana FIAI UII, Yogyakarta


[1] Istilah shadaqah sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

WAKIL TUHAN ITU TELAH MENJADI WAKIL SETAN

Sudah menjadi pengetahuan jamak bahwa terungkapnya kasus suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin  bukanlah kasus yang mengejutkan, tapi justru  menguatkan rahasia umum tentang wajah peradilan bangsa yang beragama ini dan kasus ini hanya satu dari sekian banyak bukti nyata yang selama ini hanya sebatas obrolan jalanan orang-orang yang terpinggirkan. Akronim; ”KUHP” (Kasih Uang Habis Perkara) dan ”HAKIM” (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang) adalah ungkapan ketidakpercayaan yang meluas dan biasa terdengar terhadap institusi pengadilan (hakim). Fakta ini menggambarkan mental dan integritas para penegak hukum, masih jauh dari kata “adil”, meminjam pernyataan Jilmy Asshiddiqie, banyak polisi, jaksa, advokat, dan hakim yang bertindak seperti tukang peras. Orang susah yang beperkara malah sering dijadikan objek.
Lembaga peradilan yang diisi oleh “yang mulia” kini telah menjadi pasar bursa efek, hanya saham-saham yang besar saja yang mendapat perhatian publik, sedang yang kecil-kecil sama sekali tidal dilirik, siapapun yang terlibat didalamnya akan bermain.  Pihak-pihak yang terjerat perkara menjadi sasaran empuk oknum penegak hukum agar bersedia menyediakan sejumlah dana untuk memenangkan perkara. Kebenaran hanya bisa didapat dengan sejumlah uang, semakin besar uangnya semakin besar pula “kebenaran” yang akan didapat dan dengan hasil kemenangan.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari pemantauan sejumlah persidangan kasus korupsi di Tanah Air dari tahun 2005 sampai Juli 2009, setidaknya terdapat 1.643 terdakwa kasus korupsi yang terpantau di berbagai tingkat proses peradilan di Pengadilan Umum. Dari jumlah 1.643 terdakwa tersebut, 812 diantaranya menikmati vonis bebas, dan sebagian besar lainnya mendapatkan vonis ringan dan bahkan vonis percobaan termasuk hukuman di bawah satu tahun.
Laporan MA menyangkut kualitas dan independensi para hakim, periode tahun 1945-1960, tingkat independensi dan kualitas hakim tergolong tinggi dan baik, yakni mencapai 80 %. Pada periode tahun 1960-1970 mengalami penurunan menjadi 60 %. Sementara pada periode tahun 1970-1980,  tingkat independensi dan kualitas hakim merangkak naik menjadi 70%. Namun, pada periode1980-1990, justru independensi dan kualitas hakim merosot tajam menjadi 40 %. Pada saat itu, moralitas hakim turun dan beberapa hakim ditangkap dalam kasus suap. Jelang tahun 1990-2009, independensi dan kualitas hakim tetap belum bisa bangkit, masih bertahan pada presentase 50%. 
Berdasarkan rencana strategis MA, peningkatan presentase independensi hakim baru dimulai pada tahun 2010. Adapun tahapan Rencana Strategis itu adalah I pada tahun 2010-2014 mencapai 55 persen. Renstra II 2015-2019 mencapai 65 persen. Renstra III pada 2020 hingga 2024 mencapai 70 persen. Renstra IV pada 2025-2039 mencapai 80 persen dan Renstra V pada 2030-2034 diharapkan baru mencapai 90 persen.
Melihat data dan rencana strategis MA, nampaknya perubahan penegakan keadilan di negeri ini masih akan melewati jangka waktu yang sangat panjang, itupun kalau berhasil. Tetapi bila tidak, maka wajah lembaga peradilan masih suram dan apakah akan menunggu keputusasaan masyarakat?
Tampaknya menjadi wajar bila masyarakat hari ini lebih merindukan sosok pak Harto, untuk kembali lagi memimpin negeri ini. Masyarakat membuka nostalgia lama bersama Pak Harto dan seakan memaafkan sederat kelemahan yang dilakukannya. Negara dengan swasembada pangan, pendidikan murah, harga terjangkau, pupuk tersedia, korupsi terlokalisir pada tingkat tertentu, keamanan dan stabilitas politik terjaga, menjadi salah satu macan Asia dan lain-lain sebagainya. Sungguh wajar dirindukan, tetapi untuk kembali kebelakang mustahil dan bukan bijaksana, tetapi semestinya menjadi bagian dari pelajaran yang baik bagi penerus-penerusnya.
Ini adalah masalah moral, orang yang memiliki jabatan, pengetahuan dan tingkat pendidikan dengan terang-terangan tanpa malu lagi berbuat kejahatan, para penegak hukum bak tanpa “kemaluan” lebih memikirkan diri sendiri dan dengan ringannya mengebiri hak-hak orang lain, apalagi bila hak itu adalah milik orang-orang lemah. Wakil-wakil Tuhan untuk menegakkan keadilan dimuka bumi Tuhan ini telah “murtad” berubah haluan menjadi wakil-wakil setan. Pedang Dewi Themis telah tumpul, tutup matanya telah hilang, salahsatu sisi timbangannya telah terisi uang. Dewi Themis Indonesia kini sudah dapat disuap. Penegak keadilan lebih rela dan senang hati menjadi sosok “tikus” dari pada manusia terhormat, yang terhormat sosial dan terhormat dimata Tuhan.
Ini adalah juga masalah budaya, budaya korupsi dan suap seakan menjadi kebiasaan umum yang legal dan tidak dilarang agama maupun hukum. Melakukan suap dan korupsi sudah tidak hanya pejabat tinggi, tapi juga kalangan bawah dan tidak hanya kalangan akademisi, tapi juga petani. Sungguh uang dapat melancarkan semua urusan dan membebaskan semua masalah, tidak heran bila peringkat negara terkorup sangat nyaman bagi Indonesia.
Penulis sangat menyadari merubah moral dan budaya bukan perkara mudah, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dirubah. Tingginya moral yang luhur banyak di perankan oleh agamawan dan media pendidikan, sedangkan budaya banyak perankan oleh nilai-nilai kemasyarakatan setempat dan lingkungan keluarga. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki moral maka perlu revitalisasi peran-peran agama dan pendidikan, serta budaya lokal. Sungguh, untuk menegakkan keadilan di masyarakat tidak perlu peraturan yang banyak tetapi cukup dengan ketinggian moral, sepakat dengan pendapat Taverne, Berikan aku Hakim yang baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik, maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarikpun“.
Pesan moral yang tiada henti disampaikan setiap hari di berbagai media hampir tidak berpengaruh apapun terhadap perbaikan moral, pesan-pesan agam tidak ditransformasikan dalam perilaku sehari-hari. Ada dua kemungkinan, pertama kerusakan moral yg terjadi karena kegagalan kegagalan umat memahami pesan moral agama dan kegagalan mentransformasikannya dlm kehidupan sosial. Kedua, kesalahan metodologi dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan, sehingga forum suci hanya sebagai ajang temu kangen antar warga. Ini perlu kajian lebih lanjut agar  ajaran moral agama tidak hanya dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yg menyediakan pahala dan dosa, surga dan neraka yang wujudnya tak nyata. Padahal agama memiliki ajaran moral yg merupakan inti dari setiap perkembangan moral masyarakat pada umumnya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak"
Perubahan dari budaya dimulai dari dirisendiri dan lingkungan keluarga. Pendidikan keluarga adalah dasar pendidikan karakter manusia handal. Keteladanan orangtua untuk berperilaku jujur menjadi modal utama pembentukan karakter yang paling utama. Sangat disayangkan apa yang terjadi di Surabaya akhir-akhir ini, seorang Ibu yang memberikan pembelajaran kejujuran pada anaknya justru berubah menjadi malapetakan bagi dirinya. Disisi lain pejabat korup yang pulang kampung justru disambut karpet merah bak pahlawan. sungguh sangat mahalnya kejujuran di negeri ini, oleh sebab itu semua pihak harus ikut mendorong pendidikan kejujuran di mulai dari diri sendiri dan keluarga, yang diharapkan akan berkembang menjadi pada lingkup yang lebih luas.
-------
Reformasi peradilan sudah tidak lagi manjur sebagai agenda perubahan dalam lingkungan peradilan di Indonesia, reformasi sungguh telah gagal. Lembaga peradilan telah dikuasi oleh uang. Mereka yang memiliki uang akan mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang terbaik. Sedangkan mereka yang miskin akan semakin terpinggirkan akan digilas.
Negeri ini memerlukan kehadiran hakim legendaris China, Judge Bao atau Bao Zheng (960-1279), seorang muslim penegak keadilan, keberanianya sangat melegenda, siapapun tanpa pandang bulu harus dihukum bila salah, sekalipun dari keluarga raja. Hakim pemberani ini telah difilmkan dan terus menjadi aspirator untuk menegakkan keadilan.
Akhir-akhir ini sudah mulai ada gerakan “jujur”, walaupun penulis pesimis dapat merubah wajah negara koruptor ini, tapi perlu dicoba dan dicoba dan perlu dukungan semua pihak terutama justru dimulai dari lembaga-lembaga negara khususnya lembaga peradilan.
Sabda Rasulullah: “Hakim itu digolongkan menjadi tiga kelompok. Satu kelompok akan masuk surga dan dua kelompok yang lain akan masuk neraka. Adapun hakim yang akan masuk ke surga adalah hakim-hakim yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu. Hakim yang mengetahui kebenaran, namun curang (atau tidak jujur yang menyebabkan tidak adil) dalam memberikan putusan, akan masuk neraka. Hakim yang memutuskan perkara kepada manusia berdasarkan kebodohannya juga akan masuk neraka “. (HR.Abu Dawud).

M. Roem Syibly
Pusat Studi Hukum Islam 
Pascasarjana FIAI UII, Yogyakarta