Sudah menjadi pengetahuan jamak bahwa terungkapnya kasus suap yang melibatkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin bukanlah kasus yang mengejutkan, tapi justru menguatkan rahasia umum tentang wajah peradilan bangsa yang beragama ini dan kasus ini hanya satu dari sekian banyak bukti nyata yang selama ini hanya sebatas obrolan jalanan orang-orang yang terpinggirkan. Akronim; ”KUHP” (Kasih Uang Habis Perkara) dan ”HAKIM” (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang) adalah ungkapan ketidakpercayaan yang meluas dan biasa terdengar terhadap institusi pengadilan (hakim). Fakta ini menggambarkan mental dan integritas para penegak hukum, masih jauh dari kata “adil”, meminjam pernyataan Jilmy Asshiddiqie, banyak polisi, jaksa, advokat, dan hakim yang bertindak seperti tukang peras. Orang susah yang beperkara malah sering dijadikan objek.
Lembaga peradilan yang diisi oleh “yang mulia” kini telah menjadi pasar bursa efek, hanya saham-saham yang besar saja yang mendapat perhatian publik, sedang yang kecil-kecil sama sekali tidal dilirik, siapapun yang terlibat didalamnya akan bermain. Pihak-pihak yang terjerat perkara menjadi sasaran empuk oknum penegak hukum agar bersedia menyediakan sejumlah dana untuk memenangkan perkara. Kebenaran hanya bisa didapat dengan sejumlah uang, semakin besar uangnya semakin besar pula “kebenaran” yang akan didapat dan dengan hasil kemenangan.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari pemantauan sejumlah persidangan kasus korupsi di Tanah Air dari tahun 2005 sampai Juli 2009, setidaknya terdapat 1.643 terdakwa kasus korupsi yang terpantau di berbagai tingkat proses peradilan di Pengadilan Umum. Dari jumlah 1.643 terdakwa tersebut, 812 diantaranya menikmati vonis bebas, dan sebagian besar lainnya mendapatkan vonis ringan dan bahkan vonis percobaan termasuk hukuman di bawah satu tahun.
Laporan MA menyangkut kualitas dan independensi para hakim, periode tahun 1945-1960, tingkat independensi dan kualitas hakim tergolong tinggi dan baik, yakni mencapai 80 %. Pada periode tahun 1960-1970 mengalami penurunan menjadi 60 %. Sementara pada periode tahun 1970-1980, tingkat independensi dan kualitas hakim merangkak naik menjadi 70%. Namun, pada periode1980-1990, justru independensi dan kualitas hakim merosot tajam menjadi 40 %. Pada saat itu, moralitas hakim turun dan beberapa hakim ditangkap dalam kasus suap. Jelang tahun 1990-2009, independensi dan kualitas hakim tetap belum bisa bangkit, masih bertahan pada presentase 50%.
Berdasarkan rencana strategis MA, peningkatan presentase independensi hakim baru dimulai pada tahun 2010. Adapun tahapan Rencana Strategis itu adalah I pada tahun 2010-2014 mencapai 55 persen. Renstra II 2015-2019 mencapai 65 persen. Renstra III pada 2020 hingga 2024 mencapai 70 persen. Renstra IV pada 2025-2039 mencapai 80 persen dan Renstra V pada 2030-2034 diharapkan baru mencapai 90 persen.
Melihat data dan rencana strategis MA, nampaknya perubahan penegakan keadilan di negeri ini masih akan melewati jangka waktu yang sangat panjang, itupun kalau berhasil. Tetapi bila tidak, maka wajah lembaga peradilan masih suram dan apakah akan menunggu keputusasaan masyarakat?
Tampaknya menjadi wajar bila masyarakat hari ini lebih merindukan sosok pak Harto, untuk kembali lagi memimpin negeri ini. Masyarakat membuka nostalgia lama bersama Pak Harto dan seakan memaafkan sederat kelemahan yang dilakukannya. Negara dengan swasembada pangan, pendidikan murah, harga terjangkau, pupuk tersedia, korupsi terlokalisir pada tingkat tertentu, keamanan dan stabilitas politik terjaga, menjadi salah satu macan Asia dan lain-lain sebagainya. Sungguh wajar dirindukan, tetapi untuk kembali kebelakang mustahil dan bukan bijaksana, tetapi semestinya menjadi bagian dari pelajaran yang baik bagi penerus-penerusnya.
Ini adalah masalah moral, orang yang memiliki jabatan, pengetahuan dan tingkat pendidikan dengan terang-terangan tanpa malu lagi berbuat kejahatan, para penegak hukum bak tanpa “kemaluan” lebih memikirkan diri sendiri dan dengan ringannya mengebiri hak-hak orang lain, apalagi bila hak itu adalah milik orang-orang lemah. Wakil-wakil Tuhan untuk menegakkan keadilan dimuka bumi Tuhan ini telah “murtad” berubah haluan menjadi wakil-wakil setan. Pedang Dewi Themis telah tumpul, tutup matanya telah hilang, salahsatu sisi timbangannya telah terisi uang. Dewi Themis Indonesia kini sudah dapat disuap. Penegak keadilan lebih rela dan senang hati menjadi sosok “tikus” dari pada manusia terhormat, yang terhormat sosial dan terhormat dimata Tuhan.
Ini adalah juga masalah budaya, budaya korupsi dan suap seakan menjadi kebiasaan umum yang legal dan tidak dilarang agama maupun hukum. Melakukan suap dan korupsi sudah tidak hanya pejabat tinggi, tapi juga kalangan bawah dan tidak hanya kalangan akademisi, tapi juga petani. Sungguh uang dapat melancarkan semua urusan dan membebaskan semua masalah, tidak heran bila peringkat negara terkorup sangat nyaman bagi Indonesia.
Penulis sangat menyadari merubah moral dan budaya bukan perkara mudah, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk dirubah. Tingginya moral yang luhur banyak di perankan oleh agamawan dan media pendidikan, sedangkan budaya banyak perankan oleh nilai-nilai kemasyarakatan setempat dan lingkungan keluarga. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki moral maka perlu revitalisasi peran-peran agama dan pendidikan, serta budaya lokal. Sungguh, untuk menegakkan keadilan di masyarakat tidak perlu peraturan yang banyak tetapi cukup dengan ketinggian moral, sepakat dengan pendapat Taverne, “Berikan aku Hakim yang baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik, maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarikpun“.
Perubahan dari budaya dimulai dari dirisendiri dan lingkungan keluarga. Pendidikan keluarga adalah dasar pendidikan karakter manusia handal. Keteladanan orangtua untuk berperilaku jujur menjadi modal utama pembentukan karakter yang paling utama. Sangat disayangkan apa yang terjadi di Surabaya akhir-akhir ini, seorang Ibu yang memberikan pembelajaran kejujuran pada anaknya justru berubah menjadi malapetakan bagi dirinya. Disisi lain pejabat korup yang pulang kampung justru disambut karpet merah bak pahlawan. sungguh sangat mahalnya kejujuran di negeri ini, oleh sebab itu semua pihak harus ikut mendorong pendidikan kejujuran di mulai dari diri sendiri dan keluarga, yang diharapkan akan berkembang menjadi pada lingkup yang lebih luas.
-------
Reformasi peradilan sudah tidak lagi manjur sebagai agenda perubahan dalam lingkungan peradilan di Indonesia, reformasi sungguh telah gagal. Lembaga peradilan telah dikuasi oleh uang. Mereka yang memiliki uang akan mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang terbaik. Sedangkan mereka yang miskin akan semakin terpinggirkan akan digilas.
Negeri ini memerlukan kehadiran hakim legendaris China, Judge Bao atau Bao Zheng (960-1279), seorang muslim penegak keadilan, keberanianya sangat melegenda, siapapun tanpa pandang bulu harus dihukum bila salah, sekalipun dari keluarga raja. Hakim pemberani ini telah difilmkan dan terus menjadi aspirator untuk menegakkan keadilan.
Akhir-akhir ini sudah mulai ada gerakan “jujur”, walaupun penulis pesimis dapat merubah wajah negara koruptor ini, tapi perlu dicoba dan dicoba dan perlu dukungan semua pihak terutama justru dimulai dari lembaga-lembaga negara khususnya lembaga peradilan.
Sabda Rasulullah: “Hakim itu digolongkan menjadi tiga kelompok. Satu kelompok akan masuk surga dan dua kelompok yang lain akan masuk neraka. Adapun hakim yang akan masuk ke surga adalah hakim-hakim yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu. Hakim yang mengetahui kebenaran, namun curang (atau tidak jujur yang menyebabkan tidak adil) dalam memberikan putusan, akan masuk neraka. Hakim yang memutuskan perkara kepada manusia berdasarkan kebodohannya juga akan masuk neraka “. (HR.Abu Dawud).
M. Roem Syibly
Pusat Studi Hukum Islam
Pascasarjana FIAI UII, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar